[13] Tiga Bulan Pertama

35 10 29
                                    

Seperti pagi biasanya, Aadhira sedang menyantap roti lapis kesukaannya saat jam menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Tapi semenjak tiga bulan belakangan ini, di jam ini juga Aadhira bisa mendengar suara klakson motor dari gerbang depan. Kalau klakson itu sudah berbunyi lebih dari dua kali, Aadhira akan berpamitan dan membawa roti lapis tambahan.

Suara klakson motor yang selalu berbunyi di setiap pagi itu adalah suara dari motor matic Al yang datang untuk menjemputnya. Selama tiga bulan ini juga, Caraka sering berpesan pada Al untuk tidak mengebut. Aadhira berdecih. Kakaknya itu menasihati di mulut saja, sedangkan dia sendiri terbiasa mengebut saat membonceng Aadhira dengan alasan takut terlambat. Seperti pagi ini, misalnya. Aadhira keluar, Caraka juga ikut keluar.


"Al, hati-hati. Jangan ngebut." Caraka seperti membuat hal ini menjadi rutinitasnya.


Dan Aadhira akan membalas, "Kakak ngga ngaca ih."


"Tenang aja, Bang." Al menjawab dengan kalimat yang sudah Aadhira bosan jika ia mendengarnya. Setelah itu mereka berangkat, dan selama di perjalanan Aadhira akan berbicara panjang lebar tentang kebosanan kakaknya karena setiap hari Caraka hanya memberi kalimat itu sebagai wejangan.


Seperti hari ini. "Tuh kan, Kak Raka kenapa hobi banget sih, ngomong hati-hati sama kamu?" Aadhira mengomel sambil memeluk tas ransel Al yang membatasi mereka berdua. Al melirik ke kaca spion. "Ngga apa-apa dong. Gitu-gitu juga dia kan kakak kamu, Aadhira."


"Iya, sih." Aadhira menyimpan sesuatu di kantong samping tas Al. "Al?"


"Ya?"


"Bentar lagi kita naik kelas loh,"


"Terus?"


"Kamu ngga berharap gitu, bisa sekelas sama aku?"


"Siapa yang ngga mau sekelas sama pacarnya sih. Tapi kenapa kamu nanya gitu, hm?"


"Habis, gimana lagi." Aadhira memandang ke arah jalan. "Aku kira, kamu ngga mau sekelas aku."


Al tersenyum.





Sampai di parkiran sekolah, Aadhira turun dari motor Al dengan ragu. Habisnya, kalau mereka berdua datang, semua orang akan melihat ke arah mereka. Aadhira tidak tahu tepat apa yang mereka pikirkan, tapi pasti ada saja yang berpikir kalau Aadhira dan Al sudah berpacaran.

Kenyaataannya begitu, tetapi selain keluarga Aadhira dan Bunda Al, tidak ada yang tau.

Aadhira dan Al sama-sama tidak mau mengumbar-ngumbar status mereka yang sudah berubah sejak tiga bulan yang lalu. Biarkan mengalir, dan lakukan apa yang mereka ingin lakukan. Bahkan Aadhira berusaha untuk tidak memberi tahu Lysia, Arsa, dan juga Arya, atau siapapun yang Aadhira kenal, walaupun, mereka sering mengungkit kedekatan Aadhira dengan Al.

Al juga sama. Laki-laki yang berulang tahun tanggal delapan belas maret itu tidak berniat memberi tahu Deka, yang notabenennya adalah teman dekatnya sejak SMP dan Zefanya, adiknya sendiri. Kalau Bundanya sih, sudah bisa menebak dari seminggu pertama mereka berpacaran. Saat itu, Aadhira ikut ke rumah Al karena Al yang saat itu mengajak Aadhira jalan-jalan ke taman kota lupa membawa dompetnya. Akhirnya, mereka ke rumah Al, dan selama Al mencari dompetnya, Aadhira diinterogasi kecil-kecilan oleh Bunda. Al agak lega saat Bundanya bilang tidak akan memberi tahu Ayahnya. Pasalnya, kalau Ayahnya tahu, maka Zefanya akan otomatis tahu, dan Zefanya itu orangnya ember bocor. Bisa kacau.

"Aku duluan ya, Al." Aadhira memberikan helm yang baru saja dia lepas. "Aku belum ngerjain tugas."


"Eh, tunggu." Tanpa perlu menahan lengan Aadhira, Al bisa membuat Aadhira berhenti melangkah menjauhi Al. "Bareng aku aja. Kita kan, searah."


What You Need Are Just A Cup Of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang