Aku melayani mereka di 'ranjang' sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Senin sampai Selasa adalah giliran Mas Adit, Rabu sampai Kamis giliran Mas Kendra, dan Jumat sampai Sabtu giliran Mas Adnan. Hari Minggu, aku bebas. Pada hari itu, aku biasanya tidur bersama Daffa di kamarnya. Awalnya, aku sempat berpikir, betapa melelahkan hidup seperti ini. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan keadaan tersebut.
Pekerjaan di pagi hari juga mengikuti jadwal yang sama. Aku menyiapkan keperluan mereka, dari pakaian kerja hingga hal-hal lainnya, sesuai jadwal. Jika bukan giliran mereka, biasanya si Bibik yang mengurus. Apakah aku bahagia menjalani pernikahan seperti ini? Selama itu membuat Mas Adit bahagia, aku tidak keberatan.
Aku sangat mencintai Mas Adit. Aku rela melakukan apa pun demi kebahagiaannya, dan jika dia bahagia, maka aku juga bahagia.
Saat ini, malam Sabtu. Jadwalnya giliran Mas Adnan. Dia baru saja pulang kerja dan sedang mandi. Sementara itu, aku memilih duduk di ruang keluarga sambil bermain dengan Daffa. Dari tadi, Mas Adit tak henti-hentinya membuat Daffa tertawa. Melihat mereka begitu serasi dan menggemaskan membuat hatiku hangat. Betapa aku berharap Daffa adalah anakku dengan Mas Adit. Jika itu benar, mungkin kami akan menjadi keluarga kecil yang sangat bahagia.
Mas Kendra sedang sibuk dengan laptopnya, entah apa yang dikerjakannya. Tiba-tiba, aku merasakan ciuman lembut di puncak kepalaku, disertai pelukan erat dari belakang. Aku tahu, ini pasti Mas Adnan.
Mas Adit yang melihat kejadian itu, langsung berpura-pura sibuk mengajak Daffa berbicara. Aku bisa merasakan betapa berat perasaannya, harus berbagi istri dengan saudara-saudaranya sendiri. Namun, Mas Adnan tampak tidak terganggu. Ia terus memelukku erat, tangannya dengan lembut mengusap pinggangku, tetapi ada kesan sensual di balik gerakannya. Bibirnya juga tak berhenti, perlahan-lahan ia menciumi tengkuk leherku.
"Ke kamar, yuk," ajaknya dengan suara yang terdengar penuh keinginan. Tampaknya, ia sudah tidak bisa menahan diri.
Aku hanya mengangguk pelan, dan sebelum aku sempat melangkah, Mas Adnan sudah mengangkatku dengan gaya bridal style. Saat kami tiba di anak tangga ketiga, Daffa tiba-tiba menangis, seolah ingin mendekatiku.
"Daffa sama Ayah dulu ya, Mamanya ada urusan sebentar," bujuk Mas Adit sambil menggendong dan menenangkan Daffa. Hatiku terasa perih melihatnya. Di saat dua kakaknya sibuk dengan diri mereka sendiri, hanya Mas Adit yang benar-benar berperan seperti ayah kandung bagi Daffa.
Tanpa berkata apa-apa, Mas Adnan melanjutkan langkahnya dan membawaku ke kamarnya. Nafsu di matanya begitu jelas. Ciumannya tak berhenti, membuatku hampir kehabisan napas.
***
Daffa terus menangis tanpa henti, tampaknya ia haus dan ingin menyusu pada mamanya. Adit berusaha keras menenangkannya, namun usahanya seakan sia-sia. "Bawa ke mana kek, Dek! Abang udah pusing, makin pusing denger tangisan Daffa," tegur Kendra sambil memijat pelipisnya. Hari ini memang hari yang berat bagi Kendra, pekerjaannya menumpuk dan membuatnya terkena migrain.
Setelah mendengar protes Kendra, Adit pun memutuskan untuk membawa Daffa keluar rumah, mengajaknya berjalan-jalan. Lagi pula, malam belum terlalu larut. Tangisan Daffa langsung terhenti begitu ia mendengar rekaman suara lembut mamanya yang menyanyi, rekaman yang Adit buat saat mereka masih berpacaran.
Daffa duduk tenang di kursi sebelah Adit, sementara mereka berdua menghabiskan malam dengan mengelilingi kota Jakarta. Perjalanan itu berakhir di sebuah restoran cepat saji. Adit, yang lapar setelah sibuk menenangkan si kecil, akhirnya memutuskan untuk makan. Sementara itu, Daffa telah tertidur lelap di dalam troli bayinya. Adit menatap wajah Daffa, melihat sedikit kemiripan antara putranya dengan para abangnya dan juga dirinya, serta sedikit dari Vera, istrinya.
"Tumbuhlah jadi anak yang berbakti ya, jangan nakal. Dengar nasihat Mama, Ayah, Papa, dan Papi," gumam Adit lembut, sembari mengusap pipi gembul Daffa yang halus. Waktu sudah menunjukkan pukul 10:25 malam, dan Adit segera memutuskan untuk pulang, khawatir penghuni rumah, terutama Vera, akan cemas dengan Daffa.
Sesampainya di rumah, Adit memperkirakan bahwa sebagian besar lampu rumah telah dimatikan dan para penghuni sudah mulai tidur. "Aku pulang," ujar Adit perlahan, meski tak berharap ada yang menjawab. Ia membawa Daffa ke kamarnya, di mana babysitter Daffa sudah menunggu. Dengan hati-hati, ia menyerahkan Daffa kepada babysitter tersebut, lalu keluar dari kamar.
Saat melewati kamar kakak keduanya, Adit mendengar samar-samar suara desahan Vera, istrinya. Hatinya terasa perih mendengar suara itu. Meski tak ingin, kenyataan ini kembali menyakiti nya.
Adit segera pergi ke kamarnya, merapatkan selimut di tubuhnya. Lebih baik ia tidur daripada memikirkan hal-hal yang tak ingin ia bayangkan. Sementara itu, di kamar Adnan, Vera tampak kelelahan setelah melewati dua ronde tanpa jeda. "Mas... udah, aku nggak kuat lagi," desah Vera terengah-engah.
Adnan akhirnya menghentikan gerakannya dan berbaring di sebelah Vera. "Maaf, aku capek. Aku mau istirahat sebentar, Mas."
"Iya, nggak apa-apa. Aku cuman pengen malam ini benar-benar memuaskan. Lagipula ini malam terakhir kita sebelum besok kamu bebas, dan Senin kamu sama Adit kan."
Vera membalikkan tubuhnya, lalu mengusap lembut pipi Adnan. "Mas jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan. Ada anak kita yang juga butuh perhatian Papa-nya," ucapnya dengan nada lembut. Adnan terdiam mendengar kata-kata itu, menyadari mungkin selama ini ia terlalu terfokus pada pekerjaannya hingga mengabaikan anak mereka.
"Iya, maafin aku ya, sayang. Mas janji nggak akan kayak gitu lagi," jawab Adnan, mencoba memperbaiki kesalahannya. Vera tersenyum tipis.
Kemudian tangan Vera perlahan turun dan menggenggam kejantanan Adnan. "Gimana kalau kita lanjut?" tawarnya dengan nada nakal.
Mereka pun melanjutkan sesi mereka hingga pukul tiga pagi baru berhenti. Adnan tertidur lebih dulu, sementara Vera, meski merasa kelelahan, tidak langsung terlelap. Entah kenapa, sejak menjalani poliandri, fisiknya terasa lebih kuat, bahkan setelah berjam-jam bercinta. Dengan langkah pelan, Vera keluar dari kamar Adnan, hanya mengenakan kemeja hitam milik suaminya yang terlihat kebesaran di tubuhnya.
Ia membuka pintu kamar Daffa sedikit, tersenyum melihat putranya tertidur lelap ditemani babysitter. Kemudian, Vera berjalan ke kamar Kendra. Saat pintu terbuka, ia melihat Kendra tertidur dengan sangat nyenyak. Tanpa mengganggu, Vera melanjutkan langkahnya menuju kamar Adit, suami pertamanya. Di sana, ia mendapati Adit tengah asyik bermain game di depan komputernya.
"Mas!" seru Vera, membuat Adit terkejut dan langsung menoleh. Di layar komputernya, muncul tulisan Game Over.
"Sayang, kamu ngapain di sini?" tanya Adit terkejut.
"Tidur, dong!" balas Vera, lalu berjalan menuju komputer dan mematikannya. Setelah itu, ia menarik Adit ke tempat tidur.
"Daripada main game, lebih baik tidur. Ayo!" perintahnya dengan lembut, namun tegas.
Adit tersenyum dan merangkul pinggang Vera. "Iya, Mas tidur sekarang," jawabnya. Baru saja Vera akan membaringkan kepalanya di bantal, tiba-tiba terdengar suara keras.
"Vera! Kamu nggak menepati jadwal. Sampai hari Minggu, kamu tetap melayani aku!" suara Adnan terdengar penuh amarah dari balik pintu.
****
👉🌟 and komennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
POLIANDRI (3 suami)
Romance-SUDAH TERBIT DI PLAYSTORE VERSI EBOOK LENGKAP- terserah orang mau liat gue gimana, yang jelas gue punya suami tiga dan mereka bersaudara. awalnya gue cuman punya satu suami, tapi karena suami gue gak bisa kasih gue keturunan, Ya, dia mandul. akhirn...