{New Version} - Cemburu satu, cemburu semua.

56.1K 2.3K 70
                                    

Setelah kejadian tadi malam, Vera kini sepenuhnya berada di bawah kendali Adnan. Hari Minggu yang seharusnya Vera gunakan untuk beristirahat dan menghabiskan waktu bersama anaknya, Daffa, kini tidak bisa sepenuhnya dinikmati. Masih ada kesempatan, hanya saja harus dibagi bersama Adnan, sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Inilah konsekuensi jika melanggar aturan yang sudah dibuat. Adit hanya bisa terdiam, menyaksikan kemesraan yang ditunjukkan oleh kakaknya terhadap istrinya, wanita yang sangat ia cintai. Di sisi lain, Kendra tetap terlihat tenang, meskipun di dalam hatinya tumbuh rasa cemburu melihat kedekatan Vera dan Adnan. Ia hanya memegang erat buku Ensiklopedia yang sedang ia baca, seolah mencoba menahan perasaannya.

"Ma... ma," ucap Daffa dengan terbata-bata, membuat Vera langsung mengangkat tubuh mungil anaknya dan mendudukkannya di pangkuan. Perkembangan Daffa terbilang cepat; di usianya yang baru enam bulan, ia sudah bisa mengucapkan beberapa kata.

"Coba bilang lagi, M-a-m-a," pinta Vera lembut, penuh harap. Namun, Daffa tidak menanggapi, lebih memilih untuk memasukkan jempol kecilnya ke dalam mulutnya. Balita itu tampak asyik menghisap jempolnya, seolah tak peduli dengan permintaan ibunya.

“Yah... Daffa,” ujar Vera dengan nada kecewa. Mungkin hanya kebetulan, tapi ia yakin tadi mendengar Daffa menyebutkan kata ‘Mama’ meskipun dengan terbata-bata.

“Kenapa, Sayang?” tanya Adnan, memperhatikan ekspresi kecewa di wajah istrinya.

“Tadi, Daffa bilang ‘Mama,’ meskipun gak jelas. Waktu aku minta dia ulangi, eh dia malah gak mau. Apa mungkin cuma perasaan aku aja ya? Tapi aku yakin tadi aku dengar jelas!” jawab Vera.

Adnan tersenyum lembut, lalu mencubit pipi istrinya dengan gemas. “Lucu,” ujarnya singkat.

“Mas! Sakit,” protes Vera, mengusap pipinya yang dicubit tadi. Adnan pun mendekati anak mereka, tangannya terulur mengusap rambut halus Daffa sebelum turun ke paha berisi anaknya itu, mengusapnya dengan lembut. Tatapan mata Adnan berubah penuh kasih sayang saat menatap anaknya yang polos.

“Daffa, coba bilang P-a-p-a?” Adnan mengeja kata ‘Papa’ dengan pelan agar Daffa bisa mengerti. Daffa mendongak, menatap wajah ayahnya lalu berkedip beberapa kali, seolah berusaha mencerna kata-kata tersebut.

“Ya... ya... yah,” ucap Daffa dengan suaranya yang lembut.

“Bukan ‘Ayah,’ tapi ‘Pa-pa!’” Adnan mencoba lagi, sabar namun berharap.

Daffa malah menggeleng pelan dan mulai memainkan ludahnya. “Yayah!” ucap balita itu lagi. Di sudut ruangan, Adit yang mendengar kata tersebut tersenyum bangga. Akhirnya, anaknya bisa mengucapkan beberapa kata, terlebih lagi kata ‘Ayah’ yang menjadi kata kedua setelah ‘Mama.’

“Papa, Daffa. Bukan Ayah!” ujar Adnan dengan sedikit keras, tak menyadari nada suaranya. Seketika itu juga, Daffa tersentak kaget. Bibir kecilnya mulai bergetar, matanya berkaca-kaca, seolah tangisnya akan pecah kapan saja.

“Hueeee!!” Tangis Daffa pecah begitu mendengar bentakan Adnan.

“Mas!” tegur Vera, dengan cepat menggendong Daffa dan mengusap-usap punggungnya, berusaha menenangkan tangisan anaknya yang semakin kencang.

“Enggak, sayang. Ssshh… Anak Mama jangan nangis,” bisik Vera lembut, mencoba meredakan tangisan buah hatinya.

Adnan segera bangun dari tempat duduknya dan mendekati Vera. Ia mengusap kepala Daffa penuh kasih sayang, lalu mengecupnya berkali-kali sebagai tanda permintaan maaf. Adnan sebenarnya tak bermaksud membentak anaknya. Ia hanya merasa kesal karena kata "Ayah" yang keluar dari bibir Daffa jelas merupakan panggilan untuk Adit, bukan untuk dirinya.

POLIANDRI (3 suami)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang