1

106K 6.1K 107
                                    

Mendadak desakan untuk menangis serasa menghimpit dada Dariel. Dia tidak tahu apa alasannya. Perasaan itu muncul begitu saja hingga Dariel kesulitan bernafas.

"Dariel, apa kau baik-baik saja?" guru wanita yang saat ini mengajar pelajaran Biologi di kelas Dariel bertanya.

Memang sudah bukan rahasia lagi bahwa Dariel—putra pemilik yayasan—menderita kanker hati stadium lanjut. Bahkan beberapa waktu lalu SMA Taruna Jaya sempat dihebohkan dengan berita bahwa Dariel tidak bisa disembuhkan dan usianya tinggal sebentar lagi. Namun ternyata Tuhan masih memberi Dariel kesempatan untuk hidup hingga kini.

Dariel berusaha mengulas senyum. "Saya baik-baik saja." Namun ternyata suara Dariel serak dan tanpa sadar air matanya menetes. Dengan bingung dia menghapus air matanya lalu menatap jemarinya yang basah.

"Nak, jangan memaksakan diri. Kamu baru sembuh dari operasi. Sebaiknya kamu istirahat di UKS saja." Guru Biologi itu kembali berkata.

Dariel tersenyum kecut lalu mengedarkan pandangnnya pada seisi kelas. Ternyata semua temannya sedang menatap Dariel dengan pandangan iba.

"Baiklah, Bu. Saya permisi keluar kelas." Dariel berdiri sambil menyampirkan gendongan tas di bahu, lalu keluar dari kelas.

Bukan ucapan gurunya yang membuat Dariel memutuskan keluar. Melainkan tatapan iba semua orang. Dia benci tatapan itu. Seolah-olah dirinya lelaki lemah yang akan tumbang sewaktu-waktu.

Memangnya kenapa jika Dariel memiliki penyakit parah yang bisa merenggut nyawanya? Toh semua orang akan mati, kan? Orang sehat saja juga bisa pulang menjadi mayat hanya karena kecelakaan lalu lintas.

Yah, begitulah cara berpikir Dariel. Sangat sederhana. Dia tidak pernah mempermasalahkan penyakit yang telah menemaninya sedari kecil. Dia tetap ceria dan bermain layaknya anak lelaki pada umumnya. Berbuat kenakalan, balap motor, tawuran dan banyak hal lain yang biasa dilakukan remaja. Namun meski Dariel tergolong remaja nakal, tidak pernah sekalipun Dariel mengkonsumsi obat-obatan terlarang, alkohol dan juga rokok. Dia memang yakin kematian akan menimpa semua orang. Tapi bukan berarti Dariel adalah pemuda bodoh yang akan menjemput kematiannya sendiri dengan mengkonsumsi barang-barang itu.

"Dariel, mau ke mana?"

Dariel berhenti lalu tersenyum pada satpam. Sekarang memang masih jam pelajaran. Tentu saja keberadaan Dariel di tempat parkir sekolah mengundang tanya.

"Saya mau pulang, Pak." Jelas Dariel dengan ramah.

Semua orang di SMA Taruna Jaya sudah tahu mengenai kenakalan seorang Dariel Kenneth. Terutama kebiasaannya bolos sekolah. Namun tidak seorang pun yang berani menghukumnya. Bukan hanya karena putra pemilik yayasan, namun juga karena Dariel merupakan seorang pemuda yang sangat santun dan ramah, baik terhadap guru, pegawai sekolah maupun teman-temannya. Semua orang menyukai Dariel bukan karena takut, melainkan karena pribadi Dariel sendiri.

Dariel tahu benar cara bersikap yang pantas sesuai tempatnya berada. Dan tidak pernah sekalipun dia membeda-bedakan atau menilai orang lain berdasarkan harta dan kekuasaan.

Seperti saat ini, Pak Satpam langsung memaklumi. Sebelum Dariel operasi saja dia bisa sembunyi-sembunyi mengizinkan pemuda itu keluar sekolah. Apalagi sekarang, dia malah iba jika melarangnya.

"Langsung pulang. Jangan keluyuran!" Pak Satpam menasihati lalu pergi agar Dariel bisa lebih leluasa keluar sekolah.

Kepribadian seorang Dariel memang unik. Nakal namun tingkah lakunya terhadap orang lain, terutama yang lebih tua, tidak tercela. Nilai rapotnya selalu merah karena tidak pernah mengerjakan tugas dan selalu asal-asalan mengisi jawaban ulangan, namun tidak ada satupun yang meragukan kecerdasannya. Karena itu, wajar dia menjadi kesayangan para guru dan disukai teman-temannya. Dan tentu saja, jangan lupakan wajah tampan memikatnya. Jelas perpaduan yang tidak bisa diabaikan.

In His Arm (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang