9

49.1K 4.1K 65
                                    

Dariel memang tidak sejago Hendra, Ketua Tim Basket SMA Taruna Jaya. Namun dia serta teman-teman sekelasnya yang lama—yang sekarang sudah kelas tiga—berhasil membuat Hendra dan timnya kewalahan. Tinggal sebentar lagi, dan pertandingan itu akan selesai. Tapi—

"DARIEL!!"

Semua yang menonton pertandingan itu berteriak nyaris bersamaan dengan berbagai ekspresi di wajah. Dari semua ekpresi itu, cemas dan takut yang terlihat mendominasi.

Begitu melihat tubuh Dariel limbung dengan tangannya yang meremas dada, teman-teman Dariel bergegas menghampiri. Mereka semua tampak khawatir, terutama mengenai penyakit Dariel.

Sebelum pertandingan memang ada beberapa teman Dariel yang mencegah. Terutama para kekasihnya. Namun bukan Dariel namanya jika bisa dibujuk dengan mudah. Saat dia telah menentukan sesuatu, dia akan tetap melaksanakannya.

"Cepat panggil guru!" perintah Vian panik.

"Ayo, bawa dia ke UKS!" Zen memberi usul.

"Apa tidak sebaiknya langsung ke rumah sakit saja? Jelas ini pasti berhubungan dengan penyakitnya." Zaskia yang tadi jadi bahan taruhan berkata dengan cemas.

"Heh, perempuan murahan!" Leli berkata sambil mendorong bahu Zaskia. "Kalau bukan karena kamu yang sok kecantikan, Dariel tidak akan seperti ini."

"Kenapa aku yang disalahkan? Aku tidak bisa mencegah saat mereka memutuskan untuk bertanding." Zaskia membela diri.

Mona yang sedang menangis di dekat Dariel, segera menghapus air matanya lalu bengkit menghadap Zaskia. "Kita semua tahu benar seperti apa Dariel. Jika kau meminta putus darinya, saat itu juga Dariel akan memutuskanmu. Tapi apa ini? Pasti kau sangat bangga menjadi rebutan pangeran sekolah."

"KALIAN SEMUA BISA BERHENTI??!!"

Teriakan Kris membuat suasana seketika hening. Bersamaan dengan itu, guru olahraga telah sampai di kerumunan siswa. "

"Astaga, Dariel! Ayo, bantu bawa dia ke parkiran mobil. Bapak akan langsung membawanya ke rumah sakit."

Dariel yang samar-samar mendengar kata 'rumah sakit' langsung memejamkan mata. Pemuda itu berusaha mengatur nafas dan menenangkan diri.

Dariel sadar bahwa rasa sakit di jantungnya adalah milik Aira. Pasti terjadi sesuatu yang tidak baik pada wanita itu. Dariel tidak boleh sampai dibawa ke rumah sakit. Kalau tidak, akan sangat sulit baginya menemui Aira dalam waktu dekat karena orang tuanya pasti akan melarang Dariel keluar rumah.

"Tidak, tidak perlu ke rumah sakit." Dariel berkata lemah. Dalam hati dia mengingatkan bahwa rasa sakit ini bukan miliknya. Seharusnya Dariel tidak terpengaruh.

"Tidak ada penolakan, Nak." Guru olahraga itu bersikeras.

Untuk membuktikan bahwa dirinya memang baik-baik saja, Dariel membuka mata lalu mencoba duduk. Setelah itu dia memasang senyum meski tampak lemah.

"Lihat, aku baik-baik saja." Dariel berkata pada teman-temannya. Kemudian dia beralih pada guru olahraga. "Saya baru ingat bahwa saya tidak boleh kelelahan, Pak. Ini salah saya yang ikut bermain tanpa memperhatikan kondisi saya." Dariel menjelaskan.

"Biar dokter yang memastikan kau baik-baik saja atau tidak." guru itu bersikeras.

"Pak, kenapa masih di sini? Ayo cepat ke rumah sakit!" seorang guru wanita bertubuh subur berkata dengan panik.

"Tidak masalah, Bu. Saya baik-baik saja." Kemudian Dariel berdiri sambil berpegangan pada tangan Vian. "Tolong jangan memberitahukan masalah sepele ini pada orang tua saya. Saya tidak mau mereka diterjang panik dan buru-buru datang ke sekolah padahal saya tidak apa-apa."

In His Arm (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang