5

58.6K 4.9K 111
                                    

"Dariel, aku sudah selesai berkemas."

Tidak ada jawaban. Pemuda itu masih nyaman tidur dalam posisi tengkurap seperti saat Aira meninggalkannya.

Aira mendesah. Lalu dia mengguncang pundak Dariel pelan. "Dariel, bangun."

"Hmm."

Aira terdiam memperhatikan wajah Dariel cukup lama. Yang dipikirkannya sekarang bukan kekaguman akan wajah tampan yang memiliki hidung mancung dan alis tebal itu. Melainkan rasa bersalah dan kebingungan.

Aira bergeser hingga punggungnya beradu dengan dinding. Kedua kakinya ditekuk sementara lengannya bersandar di atas lutut.

Satu masalahnya selesai namun ia dihadapkan dengan masalah baru. Kini dirinya berhutang pada Dariel dan tidak tahu bagaimana cara membayarnya. Selain itu mengenai tempat tinggal. Kemana dirinya harus pergi? Ditambah lagi hutangnya di tempat kerja yang tadi ditagih Mbak As.

Yang terakhir itu memang salahnya. Kinerjanya tidak pernah bagus dan dirinya sudah punya hutang yang nominalnya sama dengan hutang kepada Bu Ina. Tapi dengan kurang ajarnya tadi sebelum pulang kerja, Aira mencoba meminjam uang lagi untuk dibayarkan kepada Bu Ina. Alhasil Mbak As memarahinya dan malah menagih hutang Aira sebelumnya.

Ya, semua uang itu memang Aira gunakan untuk pengobatan Airi. Meski hidupnya jadi kacau dan sering dicaci maki orang karena hutang itu, tapi tidak pernah sekalipun Aira menyesal dan menyalahkan Airi. Dia lega karena setidaknya telah melakukan sesuatu yang bisa memperpanjang hidup Airi meski akhirnya dia tetap kehilangan adiknya itu.

Tanpa sadar Aira terisak. Segera ia menutup mulut untuk meredam isak tangisnya agar tidak mengganggu Dariel. Rasanya kepala Aira hendak pecah. Dia sungguh tidak tahan lagi dengan semua masalah yang membentang di hadapannya. Seandainya bisa, Aira ingin menyerah saja atas semua siksaan ini.

"Akh, sial!" umpat Dariel sambil mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Matanya masih terpejam namun pemuda itu memukul-mukul dadanya dengan kepalan tangan seolah hendak menyingkirkan rasa sesak.

Buru-buru Aira menghapus air mata lalu memanggil Dariel pelan karena berpikir pemuda itu sedang mengigau. "Dariel."

"Aira, aku tidak bisa tidur. Bisakah kau berhenti menangis? Cobalah untuk tenang dan jangan pikirkan apapun."

Kening Aira berkerut. Tidak bisa tidur? Yang benar saja. Dariel bahkan tidak bangun setelah Aira mengguncang pundaknya tadi. Dan lagi, Aira tidak menangis keras.

"Aku tidak menangis, Dariel."

"Lalu kenapa matamu basah?"

"Bagaimana kau tahu? Dari tadi kau belum membuka mata."

Sudut bibir Dariel melekuk membentuk senyuman, namun matanya masih terpejam. "Aku bisa merasakannya." Dariel menjelaskan sambil memegang dada.

Aira berdecak. "Gombalanmu tidak akan mempan karena salah sasaran. Seharusnya kau menggunakan gombalan itu untuk gadis-gadis seusia denganmu atau yang lebih muda. Bagiku malah terdengar menggelikan."

Senyum Dariel makin lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang terawat. Padahal Dariel mengatakan yang sebenarnya. Dia sudah menduga pasti Aira tidak akan percaya.

"Dariel, kalau kau sudah tidak lelah, bisakah kau mengantarku ke pom bensin tempatku bekerja? Mungkin aku bisa menemukan seseorang yang bersedia menampungku sementara."

Perlahan Dariel membuka mata lalu berbaring miring menghadap Aira. "Seingatku, rekan kerjamu tidak ada yang suka padamu." Ujar Dariel terang-terangan. Dia sangat ingin bertanya mengenai keluarga Aira tapi menahan diri.

In His Arm (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang