Pukul tiga lewat sepuluh sore, Aira sudah sampai di rumah kontrakannya. Begitu berada di ruang tamu kecilnya yang hanya cukup menampung empat kursi kayu, Aira langsung terduduk lemas dengan air mata yang tidak bisa ditahan lagi.
Tadi dia ceroboh di tempat kerja. Yah kapan sih dirinya tidak bertindak ceroboh? Julukan 'pembuat masalah' memang sudah melekat pada diri Aira.
Sama seperti kejadian tadi di pom. Setelah mengisi tangki bensin sebuah mobil pribadi, Aira lupa memasang penutup tangki bensin dan hanya menutup rapat bagian luarnya. Alhasil dirinya menjadi bahan tontonan karena berlarian mengejar mobil pribadi itu.
Belum cukup sampai di situ, saat Aira masih dipenuhi panik dan takut, mendadak sebuah motor melaju ke arahnya. Saking kagetnya Aira sampai jatuh terduduk. Jantungnya nyaris lepas karena insiden itu. Syok yang menguasai dirinya membuat Aira seolah tidak sadar dirinya ada di mana dan kenapa.
Rasa hangat di tangannya lah yang membuat Aira kembali tersadar. Dan rupanya orang-orang telah mengelilinginya dengan wajah khawatir. Atau lebih tepatnya, para pengunjung pom tampak khawatir sementara rekan-rekan kerjanya lebih terlihat kesal.
Hanya Rina yang mau peduli padanya. Bisa dibilang Rina adalah seniornya. Dan satu orang lagi—mungkin karena rasa bersalah—anak SMA yang nyaris menabraknya.
Aira tidak terlalu memikirkan pemuda itu. Meski dia lumayan tampan dan mata biru gelapnya sangat enak dipandang, namun hal itu sama sekali tidak menarik perhatian Aira. Yang menjadi bahan pikiran Aira saat ini hanyalah kemarahan manajer pom tadi. Wanita yang biasa dipanggil Mbak As itu memarahi Aira di depan rekan-rekannya dan memberi peringatan untuk tidak membuat ulah lagi.
Aira memang sedih dan kecewa. Tapi semua itu tidak ditujukan kepada Mbak As. Aira sadar betul Mbak As juga hanyalah pegawai. Jika kejadian tadi sampai ke telinga pemilik pom, tentu Mbak As yang akan jadi sasaran kemarahan.
Jadi yang bisa dilakukan Aira hanyalah menyalahkan dirinya sendiri. Menyalahkan kecerobohan dan kebodohannya.
Puas menumpahkan air mata, Aira beranjak ke kamar mandi di bagian belakang rumah. Dia mandi cukup lama. Bukan karena sibuk menghabiskan air. Namun karena tangisnya kembali pecah.
Saat Airi masih hidup, Aira tidak akan pernah menangis seperti ini. Begitu setetes air matanya tumpah, Aira akan langsung menghapusnya lalu berusaha mengulas senyum. Dia selalu berusaha tegar demi adiknya. Sedikit saja dia tampak lemah, maka adiknya akan menolak semua jenis pengobatan yang diusahakan Aira dengan alasan tidak mau menyusahkan sang kakak.
Kini setelah tujuh bulan kepergian Airi, entah sudah berapa banyak air mata yang Aira tumpahkan.
Sungguh, Aira merasa lelah. Dia ingin—meski untuk sekali saja dalam hidupnya—bangun dari tidur tanpa dipenuhi beban dalam pikirannya.
Tapi percuma saja sekarang dirinya berangan. Waktu terus berjalan dan takdir menggoreskan kisah seperti ini padanya. Karena itu tak ada yang bisa Aira lakukan selain terus melangkah, dengan segala beban dan kekurangannya sebagai manusia.
Dingin mulai terasa menusuk tubuh telanjangnya. Akhirnya Aira putuskan untuk keluar dari kamar mandi yang hanya terdiri dari kran dan bak di bawahnya, serta kloset jongkok. Dengan selembar handuk melilit tubuh, Aira berjalan lemah ke kamar lalu mencari pakaian di lemari kayunya yang telah usang.
Begitu pakaiannya telah dikenakan, pintu depannya diketuk kasar. Buru-buru Aira menuju pintu depan dengan rambut basahnya yang menetes-netes, sebelum orang di depan rumah menghancurkan pintu rapuhnya karena terlalu keras mengetuk.
Deg.
Aira menelan ludah. Ibu pemilik kontrakan yang wajahnya terkesan sinis sedang berdiri di depan rumah Aira. Telapak tangan Aira langsung berkeringat saat memikirkan apa yang akan terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
In His Arm (TAMAT)
Romance[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Aira tidak mengerti mengapa tiba-tiba bocah SMA itu terus membuntutinya. Bahkan suatu ketika, dengan kurang ajarnya bocah itu meminta Aira untuk menjadi kekasihnya. Sialan! Apa bocah itu pikir Aira adalah perawan tu...