6

63.7K 4.8K 132
                                    

Note d sini adalah kenangan. Jd sengaja g dihapus.

Part ini aku dedikasikan buat NelisMirawati yang baru wisuda kemarin ^_^

Lulus bukan akhir, melainkan awal. Semoga kamu segera menemukan tujuan hidup—dan mungkin pekerjaan. Gak seperti diriku yang masih asyik main wattpad, bukannya berburu pekerjaan  XD

Semoga partnya cukup panjang ya, aku udah berusaha dan ternyata sanggupnya emang cuma segini  -___-

-----------------------

Aira merajuk. Dia sama sekali tidak mau berbicara dengan Dariel selama perjalanan. Bahkan meski dia penasaran Dariel akan membawanya ke mana, Aira memilih tetap bungkam.

Motor yang dikendarai Dariel berhenti di depan rumah yang berada di arena perumahan. Sepertinya area tersebut baru dibangun karena rumah yang ada masih terbilang sedikit. Bahkan rumah yang paling dekat dengan rumah yang dituju Dariel kira-kira sejauh dua ratus meter.

"Kau tidak penasaran ini rumah siapa?" goda Dariel begitu mereka turun dari motor. Dariel tahu jelas bahwa Aira merajuk karena pernyataan terakhirnya sebelum mereka meninggalkan rumah kontrakan Aira.

Aira menghembuskan nafas kesal. Sebenarnya dia masih kesal kepada Dariel. Bocah satu ini benar-benar kurang ajar menurutnya. Padahal Aira masih mengingat kalimat tidak sopan Dariel tentang 'menghamili', dan sekarang bocah itu malah meminta Aira untuk menjadi kekasihnya. Sialan! Memangnya dia pikir Aira adalah perawan tua yang haus belaian?

"Ai, kau—"

"Sejak kapan namaku menjadi 'Ai'?" sergah Aira kesal. Entahlah, panggilan itu membuat mereka terkesan lebih akrab. Akrab seperti sepasang—kekasih?

Astaga, mengapa dirinya jadi berpikiran aneh begini? Tapi ini salah Dariel. Kalau pemuda itu tidak berbicara sembarangan, pasti otak Aira tidak akan tercemar.

"Apa yang salah? Anggaplah itu panggilan sayang dariku." Goda Dariel lalu tanpa diduga dia mencolek dagu Aira.

"Dasar bocah mesum sialan!" pekik Aira yang hanya ditanggapi tawa keras Dariel.

"Wajahmu benar-benar lucu ketika sedang marah." Dariel berkata masih dengan tawanya.

Aira menatap Dariel kesal lalu berbalik sambil melipat lengan di depan dada. Pandangannya terarah pada halaman rumah itu yang terlihat polos tanpa tanaman.

KLEK.

Suara pintu depan rumah itu yang terbuka membuat tubuh Aira menegang. Apa pemilik rumah keluar karena tawa keras Dariel tadi?

Sejujurnya yang membuat Aira sangat tegang adalah kemungkinan rumah ini merupakan rumah orang tua Dariel. Walau terdengar sedikit mustahil karena rumah ini terbilang kecil jika mengingat betapa mudahnya ayah Dariel mengirim uang tanpa pejelasan. Tapi bisa saja keluarga Dariel adalah keluarga yang senang hidup sederhana.

Lalu bagaimana jika dugaannya benar? Apa yang harus Aira katakan pada keluarga Dariel. Dia takut orang tua Dariel menganggap dirinya telah memanfaatkan putra mereka. Apalagi mereka baru saling mengenal kurang dari satu hari hanya karena kejadian nyaris tertabrak kemarin.

"Ai, kau tidak mau masuk?" tegur Dariel.

Kali ini Aira tidak mempermasalahkan panggilan Dariel. Otaknya sedang berpikir keras bagaimana cara menghadapi orang tua Dariel.

Sejenak dia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa gersang seperti gurun. Kemudian dengan pelan Aira berbalik dengan senyum lebar—yang bisa dibilang senyum terpaksa—menghiasi bibirnya.

In His Arm (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang