15

46.2K 3.5K 128
                                    

Perasaan nyaman dan hangat yang melingkupi Aira membuatnya tidur makin lelap. Lengan dan tungkainya makin mengeratkan pelukan pada sesuatu yang ia pikir adalah guling.

Tapi, sejak kapan guling bisa mengeluarkan angin hangat yang kini sedang menerpa wajah dan puncak kepala Aira?

Perlahan kelopak mata Aira terangkat. Hal pertama yang ia lihat adalah sepasang manik mata berwarna biru gelap. Aira mengerutkan kening karena merasa manik mata itu sangat familiar. Mungkin karena kesadarannya yang belum benar-benar pulih sehingga ia lupa.

Aira menggeliat seraya mengerjap-ngerjapkan mata. Gerakannya terhalang sesuatu yang tadi ia kira guling. Tiba-tiba Aira memekik kaget dan secara tiba-tiba bangun lalu bergeser mundur saat menyadari bahwa sesuatu itu adalah tubuh manusia. Namun sungguh sial untuk Aira, dia malah jatuh berdebum ke lantai.

Seketika Dariel tergelak melihat tubuh Aira menghilang di sisi ranjang, disusul suara berdebum yang menjelaskan bahwa Aira menghantam lantai cukup keras. Pasti beberapa bagian tubuhnya akan terasa sakit.

"DARIEL!!" Aira berteriak sambil bangkit dengan menumpukan kedua sikunya di ranjang sementara posisi kakinya berlutut di lantai. Tatapan tajam ia layangkan pada Dariel yang masih asyik tertawa. "Dasar bocah mesum. Sejak kapan kau tidur di sini?" tanya Aira kesal.

Dariel menghentikan tawanya lalu berbaring miring dengan telapak tangan menyangga kepala. "Sejak semalam. Aku ini lelaki baik yang tidak tega membiarkan wanita tidur kedinginan."

"Baik?" tanya Aira dengan nada mengejek.

Dariel terkekeh. "Aku ini sangat baik. Kau harus tahu bagaimana caraku memperlakukan para gadis yang menyatakan cinta padaku."

"Kedengarannya tidak baik." Cibir Aira seraya bangkit. Dia mengaduh karena ternyata punggung, pundak, dan belakang kepalanya yang tadi mendarat lebih dulu di lantai terasa ngilu.

"Mungkin akan ada memar." Komentar Dariel dengan senyum tertahan.

"Ini salahmu!" seru Aira sambil memegang pundak dan punggung bagian bawahnya. Ia berjalan tertatih menuju pintu kamar.

"Kenapa salahku? Kau sendiri yang mundur ke tepi ranjang. Bukan aku yang mendorong." Dariel membela diri.

"Terserah kau sajalah."

Buru-buru Dariel turun dari ranjang lalu menyusul Aira yang sudah keluar kamar. "Mau aku pijat?"

"Tidak."

"Ayolah, Ai. Kau akan merasa lebih nyaman setelah kupijat." Rayu Dariel.

Aira berhenti tiba-tiba membuat Dariel yang mengikuti di belakang nyaris menabraknya. Aira berbalik dengan mata melotot ke arah Dariel seperti seorang ibu yang sedang memarahi putranya.

"Dariel, ke kamar mandi sekarang lalu bersiap sekolah. Aku akan membuatkan sarapan untukmu."

Dariel merengut. "Aira, kau bukan Mommyku. Kau kekasihku."

"Aku memang bukan Mommymu. Tapi apa perintahku salah?" tantang Aira. "Kau memang harus sekolah, kan?"

"Kau memperlakukanku seperti anak kecil." Protes Dariel.

"Kalau aku memperlakukanmu seperti anak kecil, aku akan memandikanmu sekarang."

Bibir Dariel mengerucut menahan senyum gelinya. "Benarkah? Kalau seperti itu, kurasa aku tidak keberatan diperlakukan seperti anak kecil."

Aira ternganga, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Dia kesal, malu, sekaligus ingin tertawa. Akhirnya Aira memilih membalikkan tubuh dengan bibir terkatup rapat menahan tawa dan wajah memerah malu.

In His Arm (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang