KL#3: PELUPUK SENJASore ini, aku terduduk dibawah sebuah pelupuk senja—langit yang sudah memancarkan rona berwarna jingga sembari termenung perkara banyak hal. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan; terutama perihal kamu yang masih selalu menjadi satu-satunya. Tak peduli berapa banyak ujaran manis yang dapat mendeskripsikan kamu dalam prosaku, kamu masih selalu saja tetap sama—melihat lalu beranggapan tak pernah terjadi apa-apa.
Mungkin bagimu, ini ilusi.
Tapi bagiku, ini ironi.Menyedihkan jika aku harus berterus terang mengenai seberapa banyak luka yang aku dapat semenjak menjatuhkan pilihan kepadamu. Tapi, aku juga tidak cukup yakin apabila harus berterus terang perihal perasaanku. Kamu bukan pilihan, namun aku terus beranggapan seolah kamu adalah pilihan dan seolah aku dapat menentukan harus jatuh pada siapa.
Sampai rona jingga mulai memudar, aku belum menemukan hal apa yang begitu memikat darimu. Kamu berjalan dengan semestinya, berbicara dengan sewajarnya, dan memikirkan hal yang sudah memang sepantasnya. Namun rasanya, kamu selalu beda. Atau hanya aku yang dapat melihat sebuah sapi ungu diantara sapi-sapi putih lainnya?
Rasanya sedikit memilukan, ketika ingat bahwa aku begitu berani menyampaikan perihal rasa dibawah sebuah pelupuk senja. Rasanya sedikit aneh, ketika kursor laptopku mendadak basah dan sulit untuk digerakkan. Kamu sederhana, namun efeknya begitu luar biasa.
18;10
Jingga sudah memudar.
Namun ingatanku tentangmu tak kunjung memudar.
Dibawah rona gelap—dengan segala gemerlapannya, tolong sampaikan padanya bahwa sampai detik ini ada rasa yang belum sepenuhnya tersampaikan.
Saya yang berada pada posisi sulit,
P, (06;16 p.m)
KAMU SEDANG MEMBACA
KIASAN LUKA [PROSA]
PoetryIni hanyalah sebuah prosa sederhana yang diangkat dari sebuah drama klasik bertema kebencian, dan dapat tersimpan rapi sebagai tulisan karena satu rasa ajaib bernama; perasaan. [isinya semacam sajak galau yang sedikit di modifikasi] © Copyright 201...