KL #24: MENEMUI AKHIR
Hi,
Kupikir, aku menuliskan kata pembuka yang sangat-sangat tepat.
Bukankah aku tidak berdosa bila menyapa ditengah keheningan kota?
Ditengah hiruk pikuknya kesibukan manusia berbicara perihal cinta.
Dan dipenghujung kisah cinta kita.
—ehm., maaf. Bukan kita. Hanya aku.
Aku tahu, tak pernah ada kita. Bahkan jika ada kita sekalipun, aku tak bisa menjamin bahwa kamu takkan pernah bermain mata.
Kuucapkan selamat tinggal
Pada rasa yang masih tertinggal
Kita harus segera melangkah,
Menuju tempat yang dapat meredam jengah.Menuju negeri terjauh,
Tanpa harus terus mengeluh,
Merasa bahwa cinta hanya sekadar keluh,
Dan menyisakan rasa dalam kadar penuh.Ini saatnya menuju akhir,
Menemui titik akhir,
Menghilangkan rasa getir,
Hingga rasa mulai terminimalisir.Jadi inikah penghujung?
Dimana kita kembali canggung,
Dan rasaku yang tak terbalas tanpa tanggung?Kupikir, kisah cinta yang selama ini kusebut dalam doa menemukan sebuah akhir yang jelas keberadaannya. Nyatanya, akhir yang kini kutemukan tak jauh dari kata hampa.
Semuanya menggantung, seperti apa itu penghujung. Mungkin benar.., aku tempatnya singgah. Mungkin benar.., aku tempatnya meredam segala rasa jengah. Tapi tidakkah ia beripikir sedikit saja untuk berbalik dan memilihku sebagai tujuan?
Sejak jauh-jauh hari aku terus berharap-harap cemas, mengharapkan akhir yang indah di penghujung kisah cinta kita. Sejak jauh-jauh hari aku tengadah—memaktubkan namamu dalam do'a.
Namun hari ini; hari yang kusebut sebagai penghujung dari kisah cinta kita, aku justru tidak menemukan apapun sebagai jawaban.
Apakah itu pertanda? Bahwa rasa yang selama ini kuberi untukmu tak cukup membuatmu merasa aman, apalagi merasa nyaman.
Aku tahu, bahwasannya selama ini aku terlalu keras mencoba, terlalu giat memaksa, menghindari kehendak Tuhan bahwa kamu takkan pernah merasa.
Sejujurnya, jauh-jauh hari sebelum bab ini diketik. Kita sudah terlebih dulu menemui akhir, sayangnya aku enggan untuk merasa karena terus didesak rasa.
Entah rasa cinta seperti yang selama ini kujabarkan, atau rasa tak tahu diri karena terus mengelabui diri?
Hari demi hari kulewati, aku rasanya semakin enggan untuk sadar. Bahwa selama ini, rasa membuatku tercekat hingga memberi sekat-sekat yang tak dapat dicegat.
Sejauh ini, rasa mengutukku untuk tetap berdiam diri dan terus tak sadarkan diri. Selama ini, aku tak pernah ingin menemui penghujung. Maka dari itu, aku tak pernah menemui akhir.
Dan di bab ini, kuakhiri segala kegundahan yang sudah setahun ini membuatku tenggelam dalam buaian rasa, dalam hasutan malaikat-malaikat yang membisikkan cinta, padahal jelas aku dibutai sesaat.
Bodohnya aku yang selama ini enggan menemui akhir, padahal takdir dengan gamblangnya membuktikan bahwa ini sudah berakhir.
Sudah.
Sudah cukup jauh aku melangkah.
Menembus segala anak panah,
Menelan patah hati mentah-mentah,Dan berujung dengan amarah yang sudah terlalu sering terasah.
Rasanya aku ingin marah, sudah sejauh ini aku melangkah. Dengan mudahnya, kamu justru menolak mentah-mentah jalanku untuk terus maju dan merubah takdir.
Sejauh ini aku melangkah, kamu justru membuat dinding yang menjulang tinggi untuk menghalangiku menembus segala pertahanan yang sudah dibuat.
Tubuhku sudah penuh duri,
Setiap hari kuinjak ranjau,
Setiap hari kutelan air rawa,sedangkan kamu tinggal berkata tidak dengan mudah.
Hari ini, kutahu bahwa banyak sekali ketidak cocokan diantara kita. Banyak sekali kehendak Tuhan yang sudah terlalu jauh kulampaui.
Hari ini,
Aku sadar,
Bahwa kita,
Sudah berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIASAN LUKA [PROSA]
PoesiaIni hanyalah sebuah prosa sederhana yang diangkat dari sebuah drama klasik bertema kebencian, dan dapat tersimpan rapi sebagai tulisan karena satu rasa ajaib bernama; perasaan. [isinya semacam sajak galau yang sedikit di modifikasi] © Copyright 201...