KL22: ANTARA TEMAN DAN PERASAAN

158 4 0
                                    

KL#22: ANTARA TEMAN DAN PERASAAN

Ada kalimat luar biasa yang tak dapat terucap, kala rasa meminta untuk diam dan menjelma seolah tak terjadi apa-apa. Banyak kata yang enggan terucap, kala diri dirasa hanya sebagai persinggahan semata.

Perihal menyudahi,
Aku tak pernah benar-benar ingin mengakhiri,
Kiranya kamu ingin pergi,
Berjanjilah untuk enggan datang kembali.

               Kala asa,
               Coba hilangkan rasa,
               Tolong jangan kembali,
               Kala hanya butuh dimengerti.

20; 19
Terimakasih, telah menjadi tamu,
Padaku yang selalu menjamu,
Menyingkirkan asa yang masih perlu diramu,
Dan menggores rasa yang sudah rapuh olehmu.

            Teruntuk kamu,
            Yang mampu mengetikkan pesan,
            Namun enggan bicara perihal kita,

Ada baiknya kita akhiri,
Banyak hal yang sudah dilalui,
Bukan karena ingin membenci,
Tapi keinginan yang memang mendesak untuk
pergi.

haruskah ku akhiri,
Antara teman,
Dan perasaan?

Jauh-jauh hari benak terus mendesak kepergian yang jelas sulit dilaksanakan. Berkali-kali rasa mendesak untuk terus menjadi seseorang yang selalu tersakiti dalam diam—tanpa bersuara, tanpa mengucap sepatah katapun, dan jelas beranggapan seolah tidak terjadi apa-apa.

Benak sempat memenangkan pertandingan antara logika dan rasa yang selalu menjadi perdebatan. Sialnya, rasa justru menang berkali-kali tanpa mengenal kata 'sempat'

Lagi, ada kata yang tak mampu kuterjemahkan meski dalam bahasa isyarat sekalipun, kala mengingat bahwa kita terbatas pada kata 'teman' dan berakhir pada pertanyaan, 'memangnya apalagi, selain teman?'

aku pernah salah kira perihal kita—apalagi jika detik ini aku diharuskan untuk membuat definisi mengenai rasamu terhadapku. Rasanya tabu; dan jauh dari kata nyata. Kamu dapat dengan mudah memulai dan mengakhirinya kapanpun yang kamu mau. Sama halnya seperti pada bagian yang sudah pernah kutuliskan sebelumnya.

Tak mudah menuangkan ide perihal kenyataan yang masih selalu kuanggap ilusi seperti kamu. Dengan susah payah dan luka yang selalu menjadi penggagas, kuterjemahkan perihal kamu dengan segenap hati, tanpa paksaan, dan tanpa berharap bahwa kamu akan segera menoleh dan memilihku sebagai perempuan idaman.

Jikalau memang sudah sepatutnya kita berada pada ruang seperti ini, biarlah. Akan kunikmati segala bentuk perlakuanmu padaku yang sebenarnya jauh dari kata manis.

Akan tetap kubiarkan kamu berlalu lalang, memberikan apapun—termasuk kiasan luka.

Biarlah,
Biarlah rasa ini tak terbalas,
Asalkan kamu dapat mencari yang selaras.

Biarlah,
Biarlah rasa ini selalu dipendam,
Asalkan kamu tak mengikat cinta dengan siapapun dan menorehkan kisah kelam,

Biarlah,
Biarlah ini menjadi bekal,
Akan keharusan menggunakan akal,

Kamu, teman, dan ruang apa yang tengah kamu ciptakan?

Kita dekat, kamu bahkan tak sungkan berceloteh ria padaku yang sebenarnya hanya pendengar biasa. Namun mengapa rasanya kamu dan aku selalu terhalang oleh ilusi?

Aku tak pernah membatasi diri, kamu pun tak pernah membuat tembok penghalang diantara kita. Lantas, mengapa kita seolah terhalang oleh imaji?

Sejujurnya,

Aku tahu jawabannya,

Rasaku selalu ada dan nyata, meskipun tanpa mengharapkan balasan.

Sedangkan rasamu, semu—bahkan jelas kutahu, kamu memberikan rasamu padanya seutuhnya.

Setelah menyadari ini, haruskah ku akhiri antara teman dan perasaan?

Mengakhiri dengan hal yang akan berbuah manis, atau justru sebaliknya?

Haruskah aku bicara dan mengambil resiko, dibanding diam dan terus bertopengkan amnesia?

Kita,
Teman.

Dan,
Aku,
Benci,
Itu.

***

Hai semuanya, do u miss me like i miss him?!1!1 HAHAHAHA. lamabgt ga update prosa ini hehe maapkan ya! Hari ini intuisi lagi luar biasa sekali ehehehe& besok ultahnya pe ihihihi jd semangat 45 deh<3 happy reading guys jgn lupa vomments nya ya!

Luvs,

P.

KIASAN LUKA [PROSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang