delapan

3.8K 203 12
                                    

"Maaf, gue datang dan pergi seenaknya. Tanpa sadar kalau ada sosok cewek yang sedang nyariin dan khawatirin gue."

- Arsen Alaska Pratama -

• • •

ALASKA membiarkan perempuan didalam pelukannya itu menangis. Rasanya sakit melihatnya menangis. Apalagi menangis karenanya.

"Lo kenapa tiba-tiba pergi dan datang seenaknya? Perasaan gue bukan buat dimainin Al!" Alaska tertegun. Sebegitu terlukanya kah perasaannya?

"Gue bukan siapa-siapanya lo. Kenapa lo mesti khawatir? Gue baik-baik aja." Aliva berhenti menangis. Dia melepaskan pelukan Alaska. Aliva berfikir bahwa selama ini Alaska tidak menganggapnya lebih dari sekedar bukan siapa-siapanya. Ternyata selama ini dia menangisinya untuk apa? Untuk apa Alaska memeluknya dan membiarkannya menangis dipelukannya?

Aliva tertawa. Menertawakan dirinya sendiri yang terlalu bodoh. Sebenarnya dirinya kenapa? Berharap apa dia dengan Alaska? Dia sendiri juga tidak mengerti.

Alaska masih memandang Aliva dengan intensnya. Menunggu sebuah jawaban yang akan keluar dari mulut cewek itu.

"Oh." Alaska mengernyitkan keningnya. Hanya sebuah 'oh' yang dia dapatkan dari mulut cewek tersebut. Alaska belum puas dan merasa aneh dengan jawabannya.

"Maksud lo?" Aliva membuang pandangannya dari Alaska.

"Mulai sekarang jangan deketin gue ataupun nyari gue lagi." Aliva berlari menembus hujan. Dia tidak memedulikan teriakan Alaska dari sana dan bajunya yang mulai basah kuyup. Aliva berlari sambil meneteskan air matanya. Dia tidak peduli. Rasanya dia ingin pergi dari sana, pindah ke planet lain dan menuangkan semua keluh kesahnya di planet tersebut.

Apa yang lo harapin Aliva? Apa? Kenapa lo bodoh banget sih jadi cewek?.

Sesampainya di rumah, Aliva membuka pintunya dan membantingnya. Sampai-sampai ibunya yang baru saja pulang hampir menumpahkan tehnya. Aliva mencampakkan sepatuny asal, lalu naik ke kamarnya dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Aliva mencampakkan tasnya dan terduduk dilantai dengan kedua tangan yang memeluk lutut. Hujan yang semakin deras seperti mencerminkan diri Aliva saat ini. Aliva menangis sesenggukan. Beruntunglah hujan sehingga tidak ada yang akan mendengarkan suara tangisnya.

Beberapa menit kemudian setelah Aliva merasa lebih baikan, pintu diketuk.

"Aliva, ini mama." Terpaksa, dengan keadaannya yang masih lembab, Aliva berjalan untuk membuka pintunya. Mamanya, Vara muncul dengan membawa secangkir teh dan biskuit kesukaan Aliva.

"Yuk duduk dulu. Cerita sama mama kenapa." Vara tersenyum kepada anak bungsunya. Mereka berdua pun duduk. Aliva tidak tau mau menceritakannya darimana.

"Ma, sakit. Rasanya sakit."

"Yang mana yang sakit? Bagian mana?" tanya Vara yang mulai khawatir.

Aliva menyentuh bagian dadanya. "Hati Aliva. Rasanya sakit banget ma. Mama tau gak? Gimana rasanya Aliva udah berharap lebih sama dia, tapi dianya malah gak nganggap Aliva siapa-siapanya." Aliva terisak.

Vara tersentuh. Kisahnya sama persis dengan kisah cintanya dengan orang yang sudah menjadi suaminya sekarang, Gabrian. Vara tersenyum dengan kedua matanya yang menatap sendu anaknya, lalu mengalus-elus punggungnya.

Cold But AnnoyingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang