Melihat betapa nyenyaknya tidur bayi kecil kami membuat aku dan Al merasa lega . Sebelum ini, tangisannya memenuhi kamar kami seperti dua hari sebelumnya.
Tiga hari lalu, aku diperbolehkan pulang. Tepatnya masih di hari yang sama saat aku melahirkan. Pihak klinik memperbolehkan aku pulang karena pemulihan bisa dilakukan di rumah. Inilah keunggulan melahirkan normal yang pernah aku bahas bersama Al.
Aku merasa kebahagiaan kami lengkap. Dengan mendapatkan suami seperti Al yang ternyata perhatiannya luar biasa, lalu mendapat bayi laki-laki seperti sekarang. Tidak cukup dengan satu kata bahagia untuk mewakili apa yang aku rasakan, dan entah kata apa lagi yang melebihi kata bahagia itu sendiri.
Sebenarnya aku sangat lelah. Butuh istirahat dengan memejamkan mata. Terlebih lagi, ini sudah cukup malam. Tapi nyatanya satu hal ini membuat aku enggan melakukan itu.
Aku masih ingin melihat Al. Melihat wajah damainya yang ternyata sudah terlelap di hadapanku.
Aku sangat merasakan jika Al tidak membiarkan aku melakukan semuanya sendiri. Dari menyiapkan semua keperluan bayi yang termasuk tempat tidur, pakaian, selimut, hingga susu formula yang juga dibutuhkan sebagai selingan. Dia menyediakan semuanya. Ayah siaga.
Aku menatap ke atas. Tiba-tiba teringat seseorang. Seseorang yang seharusnya tau kabar bahagia ini.
Seseorang yang juga berhak melihat secara langsung anak kami."Dia nggak perlu tau. Keluarga kita udah cukup bahagia. Aku, kamu ,dan anak kita."
Kalimat singkat yang aku yakini ada kemarahan di dalamnya."Mau sampe kapan kamu gini? " aku mengelus lembut rambut Al .
"Aku tau sebuah luka butuh waktu untuk sembuh, tapi sampe kapan? Sampe kamu nyesel? "Aku menghela napas.
"Aku akan berjuang untuk kebahagiaan kita. Termasuk masalalu yang selalu ngusik kamu. "Pembahasan tak berujung. Pembahasan yang akan selalu Al hindari ketika kusindir soal Ibunya.
Orang yang terakhir aku tahu berada di Padang. Jauh memang. Kami dipisahkan oleh pulau.
Tapi percayalah, dalam do'a , selalu kusebut namanya .*****
Mungkin belum ada tiga jam aku terpejam, suara tangisan bayi kecilku kembali terdengar.
Laparkah?Mata yang enggan terbuka ini kupaksakan melihat apa yang terjadi pada bayi kecil kami.
Tangan dan kakinya bergerak-gerak ke atas.
"Ya ampun sayang, bedongnya bisa lepas gini. " ucapku sambil terduduk.Aku membuka kain bedong yang sudah berantakan tak tertata.
Lalu pelan-pelan menggendongnya.
"Ini popoknya juga basah. "Bibir mungil itu terbuka , suara khas tangisannya mulai menggema lagi.
"Aku yakin dia laper. "
Monologku.
"Sayang,,, bangun. Nih anak kita kelaperan. "
Aku menepuk lengan Al berulang.
Sebenarnya tidak tega, tapi aku lebih tidak tega lagi mendengar anakku menangis."Kenapa? Anak kita kenapa? "
Al duduk. Wajahnya panik ketika bertanya.
Aku tertawa.
"Kamu biasa aja kali. Tiap malem juga nangis terus bayi kita. ""Dia laper. Bikinin susu dong. " pintaku.
"Nggak kamu kasih ASI aja? " saran Al.
"ASI aku belum lancar, yang ada dia makin laper. " jawabku sambil menggoyangkan gendonganku pelan berusaha menenangkan si kecil.
"Iya iya. Bentar ya. " Al bergegas ke dapur.
Harusnya semua keperluan itu disediakan saja di sini. Pasti bisa menghemat waktu dan bayi kecil kami tidak akan makin histeris seperti sekarang.
Sambil mengganti popok dan celananya, aku juga meminta Al agar lebih cepat."Aduh Ayah,,, cepet dong, ini anaknya udah meraung-raung tau nggak. " teriakku dari kamar.
"Iya Bunda, sabar ya. Ayah lagi usaha. "
Aku tertawa mendengar jawabannya.
Sungguh, panggilan baru kami ini belum terlalu sering dipakai. Aku hanya ingin membiasakan diri memanggilnya dengan sebutan Ayah di hadapan anak kami. Membiasakan telinga kecilnya mendengar panggilan harmonis itu keluar dari masing-masing bibir kami. Hitung-hitung melatih dari usia dini.
"Nih Bunda, buruan kasih! "
Al menyerahkan botol susu ukuran kecil itu padaku. Sebelum aku berikan, aku lebih dulu memastikan suhu susu itu, aku takut jika kejadiannya seperti pertama kemarin. Susunya masih terlalu hangat, alhasil bayi kami makin menangis kencang.
"Aku udah pastiin kok susunya aman diminum. Yakin deh,, " Al menatapku dengan wajah polosnya.
Seperti sudah tau tujuanku, tanpa kutanya , Al sendiri menjelaskan.
Hap,,
Bayi kami terdiam. Tangisannya terhenti berganti dengan suara bibirnya yang mengecup dot itu dengan terburu.
"Ayah kamu pinter sayang. Belajar dari pengalaman." ucapku seolah mengajak si kecil bicara.
Part yg saya khususkan untuk pembaca yang selalu menyemangati lwat vote dan komentar , baik yg mengkritik , memberi saran ataupun yang memberi pujian.
Tanpa semangat kalian, seorang pengarang seperti saya mungkin tidak akan bertahan.Dan untuk kamu,,, ophie_leander ,,, mkasih juga. 😊
Makasih udah ngasih judul sama milih covernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderful Love
FanfictionSequel of Dari Lagu. untuk semua pecinta Yuki dan Alki. Kita kembali dengan part cerita yang singkat.