Ansel

869 103 4
                                    

Ansel Abrisam Putra Kohler, nama penuh makna yang Al berikan untuk anak kami. Lahir dengan sehat dan wajah tampan yang menurun dari ayahnya.
Begitu beruntungnya aku dan Al dikaruniai anak semenggemaskan Ansel yang hadir di tengah keluarga, yang juga membuat Shania betah ikut tinggal bersama kami.

Perkembangan yang Ansel tunjukkan juga membuat aku semakin bangga, dari yang bisa merespon ucapanku dengan senyuman, lalu bicara yang tak jelas, menggerakkan jari-jari tangan mungilnya, tengkurap dan sekarang mulai belajar duduk meski harus disangga. Aku sangat menikmati tumbuh kembangnya yang menurutku terlalu cepat. Ya, semua terasa cepat ketika dinikmati.

Menjadi ibu ternyata tidak sesulit bayanganku, terlebih dibantu suami tercinta serta sepupunya.

Satu malam tanpa sengaja aku terbangun karena tangisan Ansel. Usia Ansel ketika itu sekitar 4 bulanan, entah karena aku terlalu mengantuk, rasanya begitu berat untuk sekedar membuka mata dan melangkahkan kaki menuju ranjang tempat Ansel tidur.
Tidak ingin membuang waktu, aku memaksa mata itu terbuka. Sudah cukup tangisannya.

Namun, belum sempat menurunkan kaki, Al terlebih dahulu bangun.
Dengan wajah amat mengantuk dan rambut yang berantakan, Al segera mengangkat Ansel dari ranjangnya untuk kemudian digendong.

Banyak kata manis dan lembut yang meluncur dari bibir Al untuk Ansel, berharap kesayangannya itu kembali terlelap. Entah bermaksud agar tidak mengganggu tidur bundanya atau karena tidak ingin melihat jagoannya itu menangis. Tapi hal itu cukup membuatku amat bangga sekaligus beruntung. Aku tidak salah memilih laki-laki, tidak pula salah memilih ayah untuk anakku.

Jika diingat, rasanya aku ingin mengeluarkan tetesan airmata haru. Sebanyak kata cinta yang selama ini terucap dari bibirku belum mewakilkan betapa aku mencintainya. Bahkan jika ada kemarahan yang pernah aku layangkan karena tingkah konyolnya, sama sekali tidak menurunkan kadar cintaku untuknya.

"Anselnya Ayah tuh pinter ya sekarang, kalo diajak ngomong senyum terus. " dengan gemasnya Al menciumi pipi Ansel.

Pagi ini, semua berjalan seperti biasa. Ritual yang tak pernah Al lewatkan kecuali jika sedang sakit.

"Ngerti ya Ayah bilang apa? Hem,, iya?? " kembali, ciuman itu melayang dengan lancar. Jika saja Al memakai lipstik, aku rasa pipi Ansel sudah berubah jadi merah karena ciuman yang sering Al berikan.

"Udah ih, sarapan dulu. " ucapku. Bukan melarang tanpa alasan, Al sudah terlalu lama bermain dengan Ansel dan kini waktunya Al sarapan sebelum berangkat kerja.

"Cieee bunda pengin dicium juga. " goda Al padaku.

Aku terkekeh, "ih apaan. Kamu kan mau kerja. Nanti kesiangan gimana? "

"Ngeles aja. Sini kalo mau dicium juga. "
Bukannya aku yang mendekat, justru Al membawa Ansel menghampiriku.

Dengan gemas dan cepat, Al menyambar pipiku, lalu beralih ke bibirku berulang seperti yang dia lakukan pada Ansel.

"Ihh,,,, kamu mah cari kesempatan deh.! " komplainku setelah mendapat kesempatan untuk menjauhkan kepala dari jangkauan Al. Aku menaruh kedua tangan di pipi agar serangan bibir Al berhenti. Kalo ada Bi Tini atau Shania lihat, bagaimana? Kan malu.

"Hahahah,,,, ini energi buat kamu sayang. Lumayan kan  buat hari ini. Sini lagi! " ucapnya dengan tatapan yang iseng.
Al kembali menyodorkan bibirnya ke bibirku.
"Mmuaacchhh,,,, "

"Hahahah,,, " dia tertawa setelahnya.

"Aduh mata gue. " teriak seseorang dari belakang membuatku kaget lalu menoleh.
"masih pagi, udah mesra-mesraan aja, ya ampun ." protesnya.
Tuh kan, baru juga diomongin. Shania udah nongol aja.

"Hahahahah,,,, " suara Al kembali membahana yang direspon gelakan tawa Ansel.

Sepertinya Al begitu bahagia pagi ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Wonderful LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang