"Shan, kamu gak bisa tetep disini aja?" Ini sudah ke sekian kalinya lelaki di hadapannya itu memohon agar ia melanjutkan pendidikannya di Indonesia saja.
Tapi keputusannya sudah bulat. Dan gadis yang akrab di panggil Shani itu pun sudah membicarakan hal itu pada kedua orang tuanya.
"Keputusan aku udah bulat, Vin. Maaf." Shani menunduk. Tatapan terluka sahabat tercintanya itu yang membuat ia tak berani menatapnya lebih lama.
"Lalu, bagimana dengan perasaan aku ke kamu Shan? Kamu mau ninggalin gitu aja? Kamu mau menulikan telinga kamu soal ini? Atau kamu mau berpura-pura seakan ungkapan aku waktu itu hanya sebatas bunga tidur kamu aja?" Shani mendongak dan pandangannya kembali bertemu pada tatapan terluka dari sahabatnya itu.
"Aku gak mungkin ngelakuin hal itu, Vin. Kamu juga tau perasaan aku ke kamu itu gimana." Shani menghela napas beratnya. Bagaimana caranya meyakinkan lelaki di hadapannya saat ini.
"Aku udah ngurus semuanya Vin. Aku gak mungkin ngebatalin semuanya gitu aja." Shani kembali menjelaskan situasinya, berharap Vino akan mengerti maksud dan keputusannya.
"Ya udah, kalau emang gak bisa. Ayo, aku antar kamu pulang. Udah sore banget ini." Vino memaksakan senyum di wajahnya.
Shani selalu menyukai senyum Vino,
tapi tidak untuk kali ini. Senyuman Vino justru membuat hatinya sesak."Vin.."
"Aku gak apa-apa, Indira."
Shani benar-benar membenci situasi seperti ini. Biasanya mereka berdua akan terus bercerita sepanjang jalan hingga tak terasa sudah sampai di rumah. Tapi kali ini, baik Vino dan dirinya sama-sama memilih untuk diam. Sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing.
Shani memeluk Vino dengan erat. Punggung itu selalu membuatnya nyaman saat bersandar seperti saat ini. Dirinya pasti akan sangat merindukan saat-saat seperti ini nantinya. Saat dimana Vino mengantar menjemput dirinya menggunakan motor kesayangan Vino. Vino yang akan selalu mengantarnya kemanapun dan kapanpun ia ingin. Vino yang selalu menghiburnya dengan tingkah konyol agar ia bisa tersenyum kembali.
Berat rasanya jika tiba-tiba harus kehilangan hal itu nantinya.
"Udah sampai." Shani melepaskan pelukannya. Dan benar saja, mereka sudah berada di depan rumah Shani.
Setelah beberapa menit berdiam diri, akhirnya Shani memberanikan diri untuk membuka suara.
"Vin.."
"Kamu bakal balik lagi kan? Buat aku." sela Vino. Ditatapnya dalam mata gadis yang di cintainya itu.
"Aku pasti balik, buat hubungan ini. Dan aku janji, kita akan ngerayain tahun baru di setiap tahunnya. Dan kamu harus nungguin aku di tempat biasa."
***
Sebuah mobil sedan berwarna putih terlihat memasuki kawasan Bandara. Di dalamnya, terdapat seorang lelaki dan perempuan. Lebih tepatnya Vino dan juga Shani.
Tepat di hari Jumat ini, Shani akan pergi melanjutkan kuliahnya di Luar Negeri. Meninggalkan Vino, sahabatnya sendiri di Ibu Kota ini. Padahal, hati kecilnya berkata bahwa ia tak ingin pergi, apalagi jika harus berpisah dengan Vino. Tapi apalah daya? Keinginannya terlalu besar untuk bisa kuliah di luar negeri. Keinginannya untuk sukses jauh lebih besar dibandingkan segalanya. Dan benar saja, Shani tak bisa mengambil pilihan lain selain benar-benar pergi.
Di dalam mobil, hanya ada keheningan yang menyertai keduanya. Kegelisahan dapat dilihat dari wajah keduanya. Hingga Vino, mulai memberanikan dirinya untuk menggenggam tangan Shani, membuat sang empunya menoleh dengan tatapan seolah bertanya.