"Iya, ini aku abis makan siang."
"Oh gitu,"
Gue menghela nafas. "Iya.."
Suasana hening kemudian menyelimuti percakapan kami. Erga yang kini berada di ujung telfon tidak langsung merespon, dia membiarkan diam mengisi percakapan kami, mungkin tengah berpikir percakapan apa lagi yang mesti dia bahas.
Well, mungkin sih.
Gue yang sedari tadi menunggu Erga berbicara hanya menatap makanan di hadapan gue tanpa nafsu sedikit pun.
Hampir setengah menit Erga diam tak berbicara, gue yang masih menempelkan ponsel di telinga pun terus memanggil Erga.
"Ga?"
"Halo?"
Tapi, nihil. Tak ada jawaban.
Gue mengeluarkan nafas kasar dan segera menekan tombol end-call.
Namun, ketika gue hampir menekan tombol end-call, suara Erga kembali terdengar.
"Halo?"
Dengan malas gue menjawab. "Hm?"
"Maaf, tadi aku mute sebentar ada urusan."
"Oh, terus udah?"
Erga berdehem. "Udah kok, tapi, aku harus pergi sekarang. Aku tutup gapapa ya? Nanti aku telfon lagi, kalo sempet."
Senyum getir terbentuk jelas di wajah gue, ketika Erga bilang mau nelfon gue tapi kalau sempat.
Dan lagi-lagi, gue cuma bisa mengiyakan. Kemudian, menutup sambungan telfon dengan pikiran tak habis pikir. Sesibuk itukah? Kok gue liat temen gue ngurusin event kampus aja kayanya masih bisa main, tapi Erga?
Gue menaruh ponsel asal di atas meja. Tama yang baru saja datang membawa minum langsung bertanya begitu melihat perubahan wajah gue yang tadinya ceria berubah jadi bete.
"Kusut banget tuh muka, kenapa lo?"
"Lo udah makan nya kan? Cabut yuk, istirahat di loker aja. Bete gue disini, rame banget pusing." Bohong gue.
Tama terlihat bingung, lalu menujuk piring gue yang masih sisa setengah. "Makanan lo ga diabisin dulu?"
Gue buru-buru menggeleng. "Kenyang."
Lalu, menarik lelaki jangkung itu untuk kembali ke café.
Di loker café, Tama terus membombardir gue dengan banyak pertanyaan. Gue yang tengah bad mood pun enggan menjawab dan cuma nyuekkin dia sampai dia sendiri pun nyerah.
"Oke, gue gak akan nanya lagi. Tapi kalo lo mau cerita, gue siap dengerin lo."
Gue menatap Tama, raut wajahnya menunjukkan keyakinan. Segera, gue tarik tangan Tama untuk duduk mendekat.
"Terakhir lo putus kapan, Tam?"
Terlihat jelas Tama terkejut atas pertanyaan gue. Kedua alisnya pun tertaut.
"Kenapa emang?"
Gue menggeleng. "Gapapa,"
"Lo kenapa sih sebenernya? Bingung gue."
"Gue juga gatau gue kenapa, Tam." jawab gue dibarengi helaan nafas.
Tama merangkul pundak gue, menarik diri gue untuk lebih dekat dengannya.
"Lo lagi banyak pikiran ya? Soalnya belakangan ini gue liat lo kayanya lesu banget."
"Ga banyak pikiran sih sebenernya, cuma satu yang ada di pikiran gue sekarang. Tapi bikin pusing gak ilang-ilang." keluh gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
him | wonwoo
General FictionHe speaks action, not words. Because that's what a real man does.