Suara jarum jam dinding yang bertengger di dinding rumah menjadi satu-satunya pengisi sunyi nya sore yang ingin menjelang malam ini. Biasanya, di saat waktu masih sore seperti ini suasana rumah tak pernah terasa sesunyi dan sesenyap ini. Bahkan, keadaan jalan di luar pun sama hal nya.
Suara decitan pelan sofa yang gue tengah duduki akibat gue yang barusan merubah posisi duduk seolah menjadi sebuah intrupsi diantara kesunyian yang terasa menusuk dan menyesakkan ini. Kedua mata gue yang sedari tadi merunduk masih tak ada keberanian untuk mendongak membuat gue merasa seperti orang lemah.
Kepalan tangan gue perlahan membulat, entah untuk menguatkan diri atau meredam amarah yang tidak tahu mengapa kini perlahan menguasai diri gue. Helaan nafas keluar untuk kesekian kalinya. Dan, bibir yang sedari tadi kelu kini mencoba untuk berfungsi sesuai fungsinya.
"Masih inget gue?"
Sumpah demi apapun, selama gue hidup ini adalah nada tersarkas yang pernah keluar dari mulut gue.
Keberanian sedikit demi sedikit datang entah dari mana, membuat perkataan gue yang mengatakan gue sebagai orang lemah kini gue tarik kembali. Gue kuat. Gue gak lemah.
Lelaki dengan balutan celana jeans light blue, kaos putih bertuliskan undefeated dan flanel kotak-kotak berwarna hijau dan hitam duduk di hadapan gue dengan mata yang tak lepas menatap wajah gue yang kini sudah menatap nya datar.
"Aku mau jelasin semuanya, jadi tolong kasih aku waktu sebentar aja."
Nadanya yang datar namun tersirat sebuah permohonan di sana membuat gue sedikit bergetar. Shit, gue benci mengakui ini tapi rasa rindu yang telah lama gue kubur kini mencuat keluar merambah seluruh tubuh gue.
Gue mendecak pelan. Membuang pandangan dari wajahnya ke arah lain. Membuat gue terlihat sangat jahat di sini.
"Ga perlu. Oci udah lebih dulu cerita ke gue."
Pikiran gue kini seolah me-rewind kejadian kemarin. Siang kemarin tepatnya setelah makan siang, gue dan Dipa saat itu berencana untuk beli es krim di kantin fakultas sebelah yang mana adalah fakultas Erga. Di sana, gue dan Dipa gak sengaja ketemu sama Oci yang kebeneran habis makan mie ayam.
"Tumben jajan di sini," sapa Oci waktu itu dengan senyum sumringahnya yang gue sambut dengan ramah.
"Sekalian mau ketemu Erga ya lo pasti!"
Gue ingat betul ketika Oci menyebut nama Erga gue memukul bahu nya pelan.
"Yeh, apaan sih lo! Tauan tuh orang masih di mana tau."
"Lah Erga belom ngabarin lo? Dia udah balik, tadi pagi gue ketemu dia abis bimbingan."
Di saat itu gue yakin Oci melihat bagaimana wajah sumringah gue seolah luntur begitu saja.
"Jangan bercanda, Ci."
Melihat perubahan ekpresi gue yang mendadak serius Oci menarik tangan gue untuk keluar dari kantin yang ramai meninggalkan Dipa yang tengah mengantri di stall es krim.
Oci menggiring gue ke pendopo yang tak jauh dari kantin, menyuruh gue yang masih tak percaya untuk duduk. Wajahnya kini berbeda tak sesumringah ketika menyapa gue.
"Erga sama sekali belom ketemu lo?"
Gue mengangguk lemas, masih gak percaya.
Oci menepuk jidatnya. "Oh iya, dia hape nya ilang di sana katanya makanya belum ngehubungin lo sama sekali kalo di udah pulang mungkin."
"Jadi hape nya dia ilang? Makanya dia gak hubungin gue sama sekali?"
Oci mengangguk. "Iya, pas gue ketemu dia tadi pagi kan gue tanya soal susahnya ngehubungin dia terus dia jawab hape nya ilang di sana, jadi dia gak bisa contact siapa-siapa kecuali nyokap nya. Dia hafal nomer nyokap nya doang soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
him | wonwoo
General FictionHe speaks action, not words. Because that's what a real man does.