Hidup gue lagi di ambang stress sejak awal semester lalu. Beban kuliah gue sangat amat banyak sejak semester kemarin. Skripsi udah di depan mata, tapi gue belom ada ide sedikitpun tentang apa aja yang harus di bahas di skripsi gue. Makanya, gue gak nongol-nongol. Lagi cari inspirasi buat skripsi, cuy.
Tapi, sayang ga ketemu-temu inspirasi nya. Sampe rasanya kepala gue mau pecah, perasaan bawaannya kesel terus, apalagi kalo udah liat laptop. Di tambah gue lagi PMS hari ini. Yaudah, makin jadi.
Ga karuan lah pokoknya gue belakangan ini. Erga aja sampe nolak ketemu gue, katanya gue lagi galak.
"Udah bab berapa?"
"Baru dua, besok mau konsul."
Gue menghela nafas mendengar jawaban Erga. Udah bab dua dan besok mau konsul. Cepet banget? Gue aja masih ngawang.
"Yaudah, semangat."
"Kamu juga dong."
Gue menghela nafas lagi. "Selalu."
"Jangan terlalu jadi beban, santai aja. Cari topik yang bener-bener kamu paham." tenang Erga.
"Justru itu yang susah. Gabisa santai. Beban banget."
"Bisa, pasti bisa."
Erga terus ngeyakinin gue lewat telfon. Suaranya begitu tenang, beda sama gue yang udah kaya orang di kejar utang.
"Udah ya? Aku mau lanjut."
"Iya, semangat ya. Doain aku." pesan gue.
Erga terkekeh. "Iya."
Setelah menutup telfon dari Erga, gue merebahkan diri. Berharap pikiran tentang skripsi yang melayang-layang di otak gue hilang sekejap.
"Aku di depan fakultas kamu nih,"
"Hm."
Beberapa menit kemudian, gue melihat Erga dari kejauhan. Wajahnya datar seperti biasa.
"Gimana konsulnya?" tembak gue.
Erga mengangguk, kemudian tersenyum tipis. "Ya gitu."
Melihat ekspresi Erga, gue udah bisa nebak kalo hasil konsul dia pasti bagus.
"Lanjut Bab 3 ni kayaknya?"
Bukannya menjawab, Erga justru mengalihkan pembicaraan. "Puncak yuk?"
"Hah?"
Erga senyum, lalu berjalan meninggalkan gue menuju parkiran.
Gue kira Erga bohongan, taunya bener. 2 jam kemudian, kita udah duduk di Warpat sambil menikmati suasana puncak.
"Tumben ngajak jalan-jalan,"
Erga menoleh.
"Iya biasanya kamu paling ogah kemana-mana."
Dan lagi-lagi dia cuma senyum. "Lagi pengen aja."
Gue mengangguk mengerti dan mengalihkan pandangan ke arah kebun teh yang tertutup kabut tipis. Udah lama banget kayaknya gue gak kesini.
Udara sejuk dan suasana puncak membuat gue ngantuk. Gue memejamkan mata, mengirup udara sejuk puncak dalam-dalam. Pikiran gue yang sebelumnya terasa sesak kini entah kenapa jadi lega.
Sentuhan tangan lembut Erga membuat badan gue terkesiap untuk beberapa detik. Erga menaruh kepala gue peralahan di pundaknya. Gue gak menolak, justru merasa lebih nyaman.
"Jangan terlalu dipikirin, skripsi bukan sebuah burden tapi sebuah challenge. Aku yakin kamu bisa."
Suara tenang Erga di tengah suasana sejuk Puncak membuat hati gue semakin sejuk.
"I know and i'm trying."
"Good, then."
Gue tersenyum. "Thank you."
Erga mengelus kepala gue, sebelum mengatakan suatu hal yang ternyata selama ini gue butuhkan dari orang terdekat gue. Singkat sih, namun sangat berefek untuk gue.
"Don't stress about it too much," kata Erga.
"Please. I know you can."
I automatically smiled.
Typical Erga,
he's a man who always knows how to do things.
**
for everyone who always waiting this story;
thank you! 💛
KAMU SEDANG MEMBACA
him | wonwoo
Ficción GeneralHe speaks action, not words. Because that's what a real man does.