Orang-orang berpakaian serba hitam sudah meninggalkan tempatnya. Hanya tinggal Fathur, Andin, Jean dan Daffa di sana. Tangis Fathur masih belum berhenti. Baginya kehilangan sosok ibu sudah seperti kehilangan nyawanya. Terlebih ibunya adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Perlahan Jean mulai mendekat ke arah Fathur dan terduduk di sampingnya. Tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan menenangkan.
"Thur, gue turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Kalau ada apa-apa, lo bisa hubungin gue, gue udah anggap lo kayak saudara sendiri. Jadi lo nggak perlu sungkan." ucap Jean pelan.
Fathur tak menjawabnya dan masih memusatkan pandangannya pada nisan di hadapannya.
"Sorry gue sama Daffa harus pergi duluan, Andin yang bakal temenin lo. Gue pamit ya."
Jean beranjak dari tempatnya dan berjalan mendekati Daffa. Mereka pergi dari tempat itu setelah berpamitan pada Andin. Kini sudah tak ada lagi orang di sana kecuali Andin dan Fathur.
Suasana hening selepas kepergian Daffa dan Jean. Hanya desiran angin dan suara gesekan daun-daun yang terdengar. Fathur masih terduduk di samping nisan ibunya itu dengan Andin yang berdiri di sampingnya.
"Kalau lo mau pulang, lo boleh pergi. Gue masih pengen di sini," ucap Fathur tanpa mengalihkan pandangannya dari nisan itu.
Andin tak menjawab, ia masih tetap terdiam di tempatnya. Perlahan kepala Fathur bergerak mengadah menatap Andin yang kini tersenyum ke arahnya.
"Kalau lo di sini, gue juga di sini," sahut Andin.
Fathur terdiam sejenak. "Tapi di sini panas," ucapnya.
Andin kembali melengkungkan bibirnya. "Gue siap berdiri di tempat kaki lo berpijak. Di mana pun itu. Mau itu hujan ataupun panas, siang atau pun malem, gue nggak peduli."
Ucapan Andin membuat Fathur tergeming di tempat. Matanya tak berkutik menatap gadis di yang masih menampakan senyumannya itu. Mulutnya membisu, desiran darahnya terasa mengalir lebih cepat. Senyuman Andin kali ini benar-benar membuatnya terpaku.
Fathur bangkit dari duduknya dan berdiri menghadap Andin. Ia berusaha tersenyum seikhlas mungkin di hadapan gadis itu.
"Kalau gitu kita pergi sekarang," ajak Fathur.
Andin terdiam sejenak menatap laki-laki di hadapannya itu. Ia dapat melihat laki-laki itu sudah baik-baik saja. Andin kembali tersenyum lalu mereka pergi beriringan.
Suasana kafe itu nampak sepi, namun alunan lagu romantis dan aroma kopi yang khas cukup membuat beberapa pengunjung di sana merasa nyaman.
"Rencananya lo mau pergi kemana?"
Andin dan Fathur sudah duduk di kafe itu sejak tadi. Isi cangkir mereka yang hampir habis bisa menunjukan jika mereka memang sudah lama di sana.
"Habis semester ini, gue mau kerumah paman di Semarang. Almarhumah mama gue sering ajak gue ke rumah paman dulu. Jadi gue rasa gue bisa numpang hidup sambil bantu-bantu paman di sana," ucap Fathur menjawab pertanyaan Andin.
Entah kenapa raut wajah Andin nampak tak senang mendengar jawaban itu. Sorot matanya surut. Ia menghela nafasnya pelan.
"Tapi nanti gue balik ke Jakarta buat kuliah, gue mau nyari beasiswa buat kuliah di Jakarta. Terus nanti gue mau tinggal dan nyari kerja di sini."
Senyuman kecil kini nampak di wajah Andin. Entah kenapa mendengar ucapan Fathur membuatnya merasa lebih lega.
"Kalau gitu semangat! Gue bakalan do'ain yang terbaik buat lo!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Thantophobia
Novela JuvenilThantophobia (n.) the phobia of losing someone you love. [Cover by @whistleeu_] [Sedang proses revisi part 2] Kisah seorang gadis yang jarang bicara karna sebuah luka dimasa lalunya-Jeane. Dan seorang laki - laki yang baru saja masuk ke sekolah baru...