Empat

2.5K 205 4
                                    

Giana terlihat tengah menata makanan di meja. Hari ini, ia sengaja bangun pagi demi memasakan nasi goreng kesukaan adiknya Jean.  Jam masih menunjukan pukul 05.50, namun entah ada apa, pagi ini Jean juga bangun lebih pagi dan sudah siap lebih awal. Padahal biasanya di jam seperti ini, ia bahkan masih belum bangun.

Jean berjalan menuruni setiap anak tangga sambil menatap ke arah kakaknya dengan lekat. "Ada yang aneh! Mengapa tiba - tiba kakak berubah seperti ini" pikirnya. Namun ia mencoba untuk tetap tak memperdulikannya. Bagi Jean, mau Giana berubah menjadi sebaik apapun, itu tak mengubah kejadian di masa lalu.

Giana sudah menyadari adiknya yang turun, ia mengangkat kedua sudut bibirnya tersenyum senang.

"De sarapan bareng ya." pinta Giana.

Jean diam seakan tak menanggapi permintaan kakaknya itu dan tak peduli. Ia langsung mengambil sepatunya di bawah tangga tempat ia menyimpannya dan memakainnya.

"Plissss... kali ini aja" kakaknya memohon dengan memelas. Namun Jean masih tak peduli dan malah sibuk mengikat tali sepatunya.

"Gue gak suka sarapan. Kalo mau lo bungkusin buat gue makan di sekolah." Jean mengucapkannya dengan nada datar seperti biasanya.

Giana mengangguk dan segera menyiapkan kotak makan untuk Jean secepatnya. Senyum kebahagiaan terpancar di wajah Giana. Ia sangat senang mendengar ucapan adiknya itu. Meskipun tak makan bersama, ia rasa ini awal yang baik untuk memperbaiki semuanya. Sebenarnya ia mengetahui bahwa adiknya itu masih menyayanginnya. Hanya saja ia mengerti apa yang dulu harus Jean hadapi.

Begitu selesai Giana memberikan kotak makan itu dan Jean menerimanya. Jean memasukan kotak nasinya ke tas, lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Giana memakluminya karna sudah biasa. Sebetulnya mengingat Jean mau menerima kotak nasi itu saja, ia sudah senang.

"Bentar lagi lo bakal balik de... Jadi Jeane yang dulu, yang gak dingin dan gak pedulian kayak sekarang. Gue yakin." Giana mengucapkan kalimat itu sembari tersenyum ikhlas.

***

Di sisi lain. Terlihat Andin yang tengah berdiri di depan gerbang rumahnya seperti menunggu seseorang. Ah iya, mobil Daffa sudah sampai di Jakarta kemarin sore. Sepertinya orang yang Andin tunggu adalah Daffa. Waktu itu Daffa sempat berkata bahwa ia akan menjemput dan mengatar Andin setiap hari saat mobilnya tiba di Jakarta.

Tak lama sebuah mobil BMW berwarna hitam berhenti di hadapan Andin. Perlahan kaca jendela mobil itu turun menampakan seseorang yang mengendarainya. Lengkungan senyum di wajah Andin terpancar begitu melihat Daffa di dalam sana.

Daffa menggerakan kepalanya menandakan bahwa ia menyuruh Andin masuk. Andin mengkerucutkan bibirnya, dan Daffa hanya menatapnya. Akhirnya ia membuka pintu mobil itu lalu masuk. Raut wajah Andin terlihat agak cemberut, namun ia berusaha untuk tetap terlihat biasa dan menstabilkan moodnya.

Daffa memasangkan sabuk pengaman milik Andin secara tiba - tiba. Hal itu membuat Andin sedikit terkejut. Pipinya sedikit memerah dan bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Mendapat perlakuan seperti itu saja sudah membuat Andin senang dan beruntung memiliki Daffa. Begitu pula sebaliknya. Seperti itukan harusnya? Pasangan yang sudah sering di sebut perpect couple ini, harus merasa beruntung karna saling memiliki satu sama lain? Entahlah sejujurnya Andin sendiri merasa tidak yakin jika Daffa bahagia memilikinya.

Mobil yang dikendarai Andin dan Daffa sudah melaju sejak tadi. Tak ada percakapan di antara mereka untuk beberapa saat.

"Astaga... aku lupa" Andin menepuk jidatnya. Sesegera mungkin ia mengambil ponsel yang tersimpan di tasnya.

"Kenapa?" tanya Daffa.

Andin menelpon seseorang dengan raut sedikit gelisah.

"Aku lupa bilang sama Chaca kalo mulai hari ini aku berangkat sama kamu" ucapnya dengan nada agak panik.

ThantophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang