Satu minggu berlalu, Eta masih terbaring di ruangan berbau obat. Tiga hari yang lalu sel kangker yang menempel di daerah otaknya sudah terangkat atas bantuan dari orang tuanya Nana yang baru saja pulang dari London.
Suara dari alat pendeteksi jantung mengalun merdu memenuhi ruangan yang hanya dihuni satu orang.
Eta tak sadarkan diri. Teman dan sahabatnya banyak yang menjenguknya, hanya orang tuanya dan Ela yang tak terlihat memasuki ruangan itu.
"Hai! Apa kabar? Lo udah tidur satu minggu penuh, apa lo gak kangen sama gue?" Axsa bertanya pada Eta meskipun ia tahu Eta tak akan menjawabnya.
Setelah mengganti bunga mawar dalam vas yang sudah layu dengan bunga yang masih segar, Axsa lalu duduk di kursi yang ada di samping brankar Eta.
"Temen-temen lagi pada liburan, lo gak iri apa sama mereka?" tanya Axsa sambil menggenggam jari-jemari lentik milik gadis di depanya.
"Ayo bangun puteri tidur! Jangan merem mulu, lo jelek kalo merem hehe..." Axsa terkekeh dengan kalimatnya sendiri. Jika ia mengatakannya di depan Eta ketika gadis itu tersadar, pasti Eta akan marah besar dan akan membalasnya dengan sumpah serapah.
Axsa melirik jam yang ada di lengan kirinya.
"Ta gue pergi dulu ya. Gue harap lo udah bangun kalo gue datang ke sini lagi." ucap Axsa sambil mengelus lembut rambut Eta yang mulai menipis, sampai-sampai kulit kepalanya nampak dari luar.
Axsa melepas perlahan dan hati-hati lengan Eta dari genggamanya, seperti barang yang rapuh dan mudah hancur jika sembarangan melepasnya.
Axsa berjalan ke luar, meninggalkan hening dalam ruangan. Tanpa ia ketahui seseorang menunggunya keluar. Semua yang dibicarakan Axsa pada Eta dapat didengarnya. Tanpa sepengetahuan Axsa, gadis itu masuk ke dalam ruangan.
"Hallo! Roseta Azahra kembaran gue yang paling baik sedunia atau....yang paling buruk enggak ada tandinganya. Lo apa kabar?" Ela menyapa Eta dengan senyuman yang lebih pantas disebut seringaian.
"Lo tenang aja, gue ke sini enggak bakalan ngapa-ngapain lo kok. Gue cuman mau curhat sama lo. Minggu ini gue bahagia karena lo kek gini dan.... Tante Ria alias nyokapnya Axsa benci sama lo." ujar Ela yang semakin memperlebar seringaian tajamnya.
"Hmmm... Karena waktu gue gak banyak, gue pergi dulu. Gue harap harapan Axsa enggak terkabul dan lo lebih baik enggak bangun lagi." Ela meninggalkan Eta sendiri.
Entah apa yang terjadi, sesuatu yang bening meleleh membentuk sungai dari dalam kelopak mata Eta. Mungkin ia mendengarnya dan merasakan sayatan ketika kembaranya berbicara demikian.
Sakit. Sangat sakit. Bahkan ketika gadis itu tidak sadarkan diri sekalipun. Bukan tak sadar seperti orang yang meninggal, hanya menutup matanya karena ia tak kuasa untuk membuka matanya sedetik saja. Eta masih bisa mendengar, namun tak mampu bergerak. Untuk bernafaspun ia susah. Jika tak menggunakan alat bantu, mungkin ia tak bisa bernafas. Sentuhan dan hangatnya genggaman Axsa pun masih bisa ia rasakan.
Ela yang dulu ia percaya tidak akan pernah membencinya kini dia yang menghianati rasa percayanya. Air mata yang menetes tak lagi keluar. Ia kembali mengistirahatkan kepalanya yang terus-terusan terasa sakit.
****
"Hallo Sa!" Seorang wanita yang duduk di kursi Cafe dekat dengan kantornya, tengah menelpon anaknya. Ria. Ya dia adalah orang tuanya Axsa.
"Iya mah." suara seseorang di seberang sana.
"Jemput mamah sa di Cafe yang ada di depan kantor mamah! Mamah lagi gak bawa mobil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Alone (Sudah Terbit)
Ficção Adolescente"Kalo seandainya gue pergi ninggalin lo dan dunia ini, apa yang akan lo lakuin?" "Gue gak bakalan lakuin apapun. Jika itu takdir Tuhan gue gak bakalan bisa mencegahnya. Sekalipun gue janji buat bahagiain lo." "Hmmm..." "Hahaha.... Ternyata hidup ses...