(XII) Pa,mau kawin

5.4K 239 8
                                    

Bayangan kejadian malam itu masih terngiang dibenak Bela. Malam dimana Ali mengantarkannya pulang.  Entah ini bisa dibilang kejadian buruk atau baik, yang pasti tidak ada sikap Ali yang melampaui batas. Hanya saja ucapan Ali saat itu benar-benar memenjara Bela dalam pemikiran yang tak ada pintu keluar untuk jawabannya.

Flashback

Suasana dalam mobil nampak kaku, tak ada yang memulai percakapan. Bela lebih memilih duduk mepet pada pintu dengan pandangan terfokus pada pemandangan kota Jakarta pada malam hari. Dan Ali fokus pada kemudi dan sesekali matanya melirik kearah Bela. Memandangi wajah gadis yang mampu menenggelamkan dirinya pada angan adalah hobi baru Ali yang tersembunyi. Wajah cantik dengan hidung runcing, matanya yang cenderung sipit saat tersenyum, bibir mungil yang terlihat merah tanpa pewarna itu semua terbingkai dalam hijab besar,namun tetap saja tak mampu menutupi keseluruhan indahnya makhluk Tuhan ini. Di bungkus rapat seperti ini aja kliatan indah dan cantik pa lagi kalau???? Ck...mulai lagi  pemikiran ngawur Ali.

"Ck...gitu amat sih,,,takut banget gue apa-apain?" ucap Ali yang merasa dirinya begitu diacuhkan.

Bela hanya diam sambil melihat kearah Ali sekilas lalu kembali lagi pada fokusnya ke luar jendela.

"Apa cuma ke gue lo bersikap kaya gini?"

Bela sedikit terperanjat saat nada Ali penuh penekanan.

"Saya hanya berusaha menjaga pandangan saya, maaf jika sikap saya ini bikin kamu tidak nyaman."

"Huffttt...selalu seperti itu alasannya apa lo bakal seperti ini kesemua cowok?" ucap Ali yang mulai sedikit memelankan laju mobilnya agar sedikit mengulur waktu.

"Tanpa saya jelaskanpun kamu tau apa jawabannya." balas Bela singkat.

Ali nampak tak puas dengan jawaban singkat Bela. Lalu dengan rasa penasaran yang menggebu ia mulai melancarkan pertanyaan-pertanyaannya untuk Bela. Kapan lagi ia memiliki kesempatan mengenal lebih seorang Bela.

"Tapi apa harus sampai segitunya? Bukankah yang penting kita tidak melakukan tindak kejahatan."

"Saya hanya membentengi diri saya dari fitnah yang bisa ditangkap oleh indera penglihatan saya pada lawan jenis, begitu juga sebaliknya dengan ini membantu lawan jenis saya agar terhindar dari fitnah itu."

Deggggg....jawaban yang memukau. Jantung Ali berdetak keras, bukan dia yang menjawab tapi dia yang gugup sampai keluar keringat dingin.

"Lalu kepada siapa kamu bisa lebih leluasa bersikap."
Ali seperti menahan nafasnya saat Bela belum juga menjawab pertanyaannya.

"Kepada mahrom saya,dan kepada lelaki yang halal untuk saya"
Bela menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.

"Saya hanya ingin memberi hak sepenuhnya untuk lelaki yang menjadi suami saya. Hanya dialah yang kelak berhak atas diri saya."
Bela menjelaskannya dengan pipi bersemu merah. Seolah ada sesuatu yang membuat pipinya memerah dan apa itu ia sendiripun tak tau.

Tak hanya Bela yang memerah tapi Ali juga. Ia seperti perawan yang baru pertama jatuh cinta, senyum terbit diwajahnya. Ada rasa yang makin mantab dalam hatinya. Ya...ini saatnya Ali keluarkan pertanyaan pamungkasnya.

"Lalu, kapan kamu siap dihalalkan?"

Uhukkk....Bela tersedak ludahnya sendiri,wajahnya memerah berkali-kali kalimat istighfar ia ucapkan. Ali yang melihatnya nampak kebingungan.

"Lo gak papa?" ucapnya sambil menepikan mobilnya, berhenti sejenak dan mengambil air mineral yang baru saja ia beli dijalan waktu sebelum ketemu Bela.

"Minumlah!"

Bela menerima botol yang Ali berikan dan meminumnya.
Ali menggaruk tengkuknya sendiri dan berusaha melupakan pertanyaan tadi. Entah apa yang ada dipikirannya sampai ia bisa mengeluarkan pertanyaan itu. Dalam hatinya terus merapalkan doa agar Bela tidak ilfeel dengan dirinya.

Flashback off

"Bey."
Abi Amir datang dengan dua sisir pisang yang telah masak. Pemberian dari tetangga yang baru datang dari kampung.

"Iya Bi..."

"Bikin pisang goreng ya? Umi masih belum pulang dari kajian pagi." terang abi Amir tentang istrinya yang selalu rutin mengikuti kajian pagi bersama ibu-ibu majelis ta'lim di masjid yang tak jauh dari rumahnya.

Bela mengangguk lalu dengan cekatan mulai meracik bahan-bahan yang dibutuhkan.

"Liza apa kabar Bey?"
Abi Amir memilih duduk dikursi dapur sambil menikmati kopi yang telah tersedia.

"Alhamdulillah Liza baik abi, insyaAllah istiqomah."

"Semalam kakaknya Liza ya? Kok bisa nganter kamu pulang?"

Bela memghentikan sementara kegiatannya membuat adonan. Mencoba menatap abinya saat bicara.

"Semalem, didepan rumah Kak Nisa Bi, Bela mau cari taksi karena Kak Nisa gak bisa antar  Fatih demam. Kak Nisa tau kok Bi, malah Kak Nisa yang nitipin Bela ma dia." ucap Bela kemudian melanjutkan kegiatannya.

Diam-diam Abi Amir merasakan sesuatu yang beda dari putrinya. Tanpa Bela sadari kegiatan melamunnya telah tertangkap oleh netra senja abinya. Abi Amir berdiri dan berjalan mendekati Bela. Dengan penuh kasih tangannya mengusap puncak kepala sang anak yang tertutup hijab.

"Jangan banyak melamun, lebih baik sholat mengadulah apa yang membuatmu resah."

Sementara di tempat lain Ali memantabkan diri untuk menemui papanya. Dengan menurunkan egonya ia ingin memulai perbincangan yang sudah lama sekali tidak mereka lakukan. Dalam benaknya ini kesempatan ia bertemu papa yang super sibuk yang bahkan  tak pernah ada waktu barang seminggu di rumah.

"Pa.."

Ali berjalan mendekati papanya yang duduk di kursi kerjanya. Papanya nampak khusyuk menekuri tumpukan lembar demi lembar kertas di hadapannya.

"Pa...gu...emmm...aku mau kerja."
Mendengar ucapan sang putra Pak Hendrawan mendadak mengalihkan perhatiannya. Menatap lama putranya yang sama-sama menatapnya dalam.

"Beresin kuliah kamu dulu, baru kerja."

"Ali mau kuliah sambil kerja."

Papanya diam menunggu Ali melanjutkan ucapannya.
"Ali mau punya penghasilan sendiri dan....."

Ali diam, hatinya menimang-nimang apakah ini yang ia inginkan. Namun lagi-lagi seperti ada dorongan kuat kalau keinginannya ini mutlak.
"Dan????"

"Ali mau kawin Pa..." ucap Ali lirih.
Kepalanya menunduk, ini kali pertama ia nampak memelas di hadapan Sang Papa. Dari ekor matanya ia menangkap pergerakan papanya yang serta merta menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi dengan memijit pangkal hidungnya.

Sial...kenapa gue jadi kebelet kawin sih???tu bocah perawan emang gak bisa dianggurin lama-lama takut ada yang nyalip,nikung,dan srobot. Trus gue kebagian apa?????

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang