Orang bijak mengatakan jika hasil tak akan menghianati usaha. Namun jika kita telah berusaha keras namun hasilnya tak sesuai dengan keinginan Kita bukan berarti kita dinyatakan gagal. Tak ada istilah gagal bagi manusia yang terus berusaha dan berdoa, itu semua ibarat kita mengayuh sepeda pelan tapi pasti nantinya akan sampai pada titik tujuan.
Dan yang pasti istilah gagal itu diperuntukkan bagi mereka yang hanya diam tak mau berusaha.
Seperti halnya Ali yang telah berusaha keras namun penolakan yang ia terima bahkan disaat ia belum memulai. Bukan, tentu bukan karena dia gagal tapi karena waktu yang belum berpihak pada Ali. Mungkin saja skenario lain yang dalam kehidupan Ali. Ingat Allah itu memberi apa yang kita butuhkan dalam waktu yang tepat.
"Arghhh...."
Ali menggeliat pelan. Tubuhnya kini terbaring lemah di dalam ruang inap sebuah rumah sakit. Wajahnya pucat dan jarum infus menancap di pergelangan tangan kirinya.Ya...Ali dinyatakan terkena tifus setelah nyaris pingsan di kantor polisi. Sesaat setelah adegan drama dengan Yosi itu Ali mengerang menahan sakit kepala dan terjatuh. Untung ada Liza yang mendampinginya sehingga dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Rumah sakit yang sama dengan tempat Bela di rawat.
"Kak, jangan banyak bergerak berbaring aja dulu." cegah Liza saat Ali berusaha bangun dari tidurnya."Kakak kenapa Dek? tanya Ali yang menyadari dirinya tidak sedang di kamar tidurnya melainkan di kamar rumah sakit.
Liza menghela nafasnya gusar benar-benar tak tega melihat kondisi kakaknya sekarang. Bibir yang biasanya berceloteh riang kini nampak pucat dan kering. Matanya yang kadang suka mengedip jahil sekarang nampak sayu dan kosong.
"Kakak sakit dokter bilang Kakak kena tifus jadi gak boleh banyak bergerak makanpun harus yang lunak."
Liza mengusap bahu Ali sayang.
"Papa dan Mama udah aku kabari katanya mereka baru lusa bisa datang. Ada pertemuan penting yang gak bisa ditunda, tapi Kakak jangan khawatir ada aku yang akan jagain Kakak."Ali diam tak bergeming matanya menatap nanar. Begitu banyak beban dan kesakitan yang terpendam di sana.
"Harusnya kamu gak perlu kasih tau mereka Dek."
"Kak...."
Ucapan Liza terpotong saat Ali dengan cepat mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda untuk Liza tak melanjutkan omongannya."Bagaimana kondisi Bela?" tanya Ali lemah. Liza menggenggam tangan Ali lalu menyorot tepat di manik mata Ali yang nanar.
"Aku belum tau kak, tapi percayalah, Bela pasti akan sembuh dia gadis yang kuat,dia gadis yang baik, pasti banyak doa dan malaikat yang akan menjaganya." ucap Liza dengan sedikit tersendat menahan sesak di dada mengingat kondisi sahabatnya itu. Airmata yang dari awal ia tahan kini nampak menggenang di pelupuk mata. Begitupun dengan Ali yang kini kembali meneteskan airmatanya. Baginya kesembuhan Bela itu yang lebih penting, masalah penolakan dari abinya Ali hanya perlu berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkan abi Amir.
"Pasti rasanya sakit banget ya Dek? Itu lukanya dimana-mana. Apa mungkin Bela hanya mengantuk kan Kakak ngajak ketemunya pas udah malem, tapi kenapa dia belum bangun sih.....hiks...hiks.."
Liza memeluk kakaknya erat. Sedikit menumpukan tubuhnya pada dada Ali yang lemah. Dalam dekapan Ali ia menggelengkan kepalanya menyuruh kakaknya untuk tidak melanjutkannya.
"Apa ini salah satu upaya Allah menyelamatkan Bela yang baik dari intaian cowok brengsek kaya Kakak ya Dek?" racau Ali dalam sela lelehan airmatanya.Liza melepas pelukannya lalu memandang Ali dengan lembut.
"Stop Kak, berhenti bicara yang tidak-tidak apalagi seperti menuduh Allah seperti itu. Kita gak boleh suudzon. Isrighfar Kak....istighfar....jangan jadikan masalah ini membuat iman Kakak goyah. Allah gak akan kasih ujian melampaui batas kemampuan hambanya." terang Liza sedikit menaikkan tempo suaranya. Dengan sesenggukan Liza menatap Ali yang kini memejamkan matanya. Kedua tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya yang bersimbah airmata. Tak iya pedulikan ada sedikit darah yang nampak di selang infusnya.
"Berdoa Kak, jangan pernah meragukan kekuatan doa."***
Sudah dua hari sejak kejadian kecelakaan itu Bela masih saja menutup mata. Bukan karena pingsan, Bela telah sadar sesaat setelah Ali pergi dari rumah sakit. Ia masih saja memejamkan mata karena jika ia buka matanya, ia merasakan mual dan hanya keluar cairan dari mulutnya. Dokter menyatakan Bela mengalami gagar otak ringan dan tak sadarkan diri waktu itu dikarenakan shock yang berlebihan.
"Bey makan ya Nak dikit aja." kata umi Aisyah yang sama sekali tak ingin beranjak dari dekat putrinya.
"Mual.....Umi." kata Bela dengan mata masih tertutup.
"Tapi harus dipaksa Nak, dikit aja."
Bela menggeleng ia masih belum sanggup menahan mual saat membuka matanya.
Umi Aisyah hanya menghela nafasnya lalu meletakkan kembali mangkuk berisi bubur itu.Ceklek....
"Assalamualaikum...."
Nisa datang menjenguk Bela. Ini sudah jam pergantian shift untuk dokter. Memang sejak awal mereka secara bergantian menjaga Bela. Kini giliran uminya harus pulang. Karena kasiahan pada abinya yang mengurus rumah sendirian.
"Umi..biar Nisa yang gantian jagain Bela. Umi pulang ya sama abinya Fatih, kasian abi dirumah sendiri ditambah tadi Nisa titipin Fatih."Umi Aisyah nampak enggan meninggalkan Bela. Matanya tak terputus memandang wajah pucat putrinya. Bela yang merasa betapa berat umi meninggalkannya lalu menggerakkan tangannya meraba mencari tangan uminya dan menggenggam dengan lemah.
"Mi, benar kata kak Nisa. Umi mending pulang dulu. Kak Nisa yang jagain Bela, lagian Bela gak apa-apa Mi." ucap Bela lirih.
"Gak apa-apa gimana? Ka..."
Ucapan umi Aisyah terpotong saat Bela sedikit mengeratkan genggamannya.
"Kak Nisa juga dokterkan Mi, jadi kalo ada apa-apa Kak Nisa bisa cekatan bantuinnya."
"Kasian Abi dan Fatih mi." tambah Nisa.Akhirnya dengan terpaksa umi Aisyah pamit pulang diantar Sholeh yang sedari tadi menunggu di depan kamar rawat.
"Masih mual Dek?" tanya Nisa pelan.
"Iya Kak kalo buka mata masih muter-muter trus mual." aku Bela sambil sesekali mencoba membuka matanya.
"Iya sabar bertahap ya. Tapi tetap harus dipaksa makan dek. Di coba ya."
Bela masih saja menggelengkan kepalanya.
"Minum aja Kak."
Nisa mengangsurkan botol air mineral yang telah dikasih sedotan kedepan bibir Bela. Lalu dengan sangat pelan Bela mencoba menyedot minumannya.Setelah selesai minum Nisa menyimpan kembali di atas nakas.
"Kak, Liza gimana?dia gak apa-apakan."
Bela mencoba menanyakan sesuatu yang selalu mengganjal hatinya. Mungkin dengan mengawali menanyakan tentang Liza ia bisa memulai. Padahal Bela sendiri yakin tak terjadi apa-apa pada Liza karena pada saat kejadian jelas Liza berada di seberang jalan. Mereka janjian bertemu di ujung jalan juga. Waktu Bela mau menghampiri Liza terjadilah kecelakaan itu.
"Gak perlu basa-basi sama Kakak. Jelas sekali kamu tau Liza baik-baik saja."
Senyum Nisa terbit saat berhasil menggoda adiknya. Bahkan dalam kondisi pucat itu Bela sempat merona.
"Kamu kepikiran seseorang yang waktu itu ngajak kamu ketemuan ya?"
Bela tertegun, dalam hatinya dia menanyakan dari mana kakanya tau soal itu.
"Gak usah kaget Kakak tau dari pesan yang dia kirim terus-terusan ke kamu."
Nisa memiliki ide yang saat itu muncul. Dia hanya perlu bernegosiasi dengan adiknya.
"Gimana kalau sebelum kakak cerita tentang dia kamu makan dulu. Kakak cuma gak tega kalau sampai kamu deg-degan dengernya trus pingsan gara-gara gak makan."
"Ish...Kakak apaan sih." kata Bela tersipu malu.
"Deal????"
Lalu tanpa butuh waktu panjang Bela mengangguk menyetujui tawaran sang kakak.Tak ada suara, Bela makan dalam senyap hanya sesekali denting sendok beradu dengan mangkok dari keramik. Hanya lima suap dan Bela sudah hampir muntah. Setidaknya ada sedikit makanan yang masuk pada mulutnya.
"Kemarin kata abinya Fatih, dia ada di sini. Nampak sangat kacau saat tau kondisi kamu. Berkali-kali dia menyalahkan diri sendiri tentang apa yang menimpa kamu."
Bela nampak khusyuk menyimak tanpa menyela sedikitpun. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Abinya Fatih mencoba menenangkannya. Tapi ada satu hal yang membuat dia makin hilang arah."
Tubuh Bela menegang muncul berbagai spekulasi dalam pikirannya. Tapi tetap saja ia menunggu lanjutan cerita dari sang kakak.
" Saat abi terang-terangan menyuruh dia menjauhimu Dek. Dan terang-terangan abi menunjukkan penolakan padanya."lanjut Nisa setelah menimbang-nimbang apakah bagian ini harus diceritakan atau tidak.
"Tapi ini bukan salah dia Kak. Bela juga gak nolak untuk bertemu dia dengan mengajak Liza."
"Masalahnya bukan itu Dek."
"Kak...."
"Masalahnya pelaku penabrakan itu adalah teman perempuannya dengan motif cemburu."Bagai tersambar petir di siang bolong. Hati Bela tercubit, ada rasa nyeri di sudut hatinya. Mengetahui fakta ada orang lain dalam lingkup Ali yang berusaha mencelakainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta
روحانياتSeorang pria yang hanya ingin menikmati dunia, tanpa sedikitpun tertarik mempelajari ilmu akhirat harus menerima bahwa hatinya telah jatuh pada seorang wanita yang selalu menjaga kesucian dan menjunjung tinggi ajaran agamanya. Lalu apa usaha pria it...