(XXV) Fokus

4.6K 211 3
                                    

Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain pasrah setelah berusaha keras dan berdoa. Namun ketika hasil tak sesuai dengan keinginan rasa kecewa itu pasti ada, manusiawi memang tapi tak harus dengan keterpurukan. Mudah memang bilang pasrah tapi untuk melakukan entah mengapa hati ini kadang masih sulit untuk berkompromi dan inipun hal yang lumrah asal tak harus dengan mencaci keadaan.

Sejak peristiwa itu Ali tak mampu lagi berhubungan dengan Bela. Semua akses komunikasinya dengan Bela tertutup rapat. Bahkan Lizapun belum bisa membantu kakaknya karena sendirinya juga sibuk kuliah. Mengejar mata kuliah yang ia tinggalkan selama mengurus sang kakak sangat menyita waktunya saat ini. Ditambah lagi Bela masih belum masuk kuliah karena keadaan yang belum memungkinkan pasca kecelakaan itu.

Ali telah memutuskan resign dari restoran tempatnya bekerja. Ini ia pilih bukan karena ia menyerah untuk bekerja keras demi memantaskan diri namun ada hal lain yang harus ia prioritaskan saat ini, sungguh Ali tak semenye-menye itu. Ali memutuskan merampungkan kuliahnya yang kini syukurnya selangkah lagi akan diwisuda dan mendapat ijasah sarjana ekonominya.

Tok...tok..tok..
Suara ketukan pada pintu kamarnya seketika membuat mata Ali yang terpejam terbuka. Tak benar-benar tertidur memang, hanya saja ia merasa lelah entah lelah karena apa.

Ali menyeret langkahnya menuju pintu lalu membukanya. Nampak bik Nah yang berdiri tegak di depannya.
"Mas Ali dipanggil bapak, disuruh ke ruang kerjanya."

Ali mengangguk mengiyakan. Setelah menutup pintu kamarnya lalu dengan malas melangkah menuju ruangan kerja papanya. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, Ali memang belum bertemu dengan sosok pria yang telah menyumbangkan gen padanya.
"Papa manggil aku?" tanya Ali setelah memasuki ruang kerja papanya.
Hendrawan mencoba mengalihkan fokusnya dari laptop ke putranya yang kini telah duduk pada sofa hitam di depannya.
"Gimana keadaanmu? Udah merasa fit?"
Ali mengendikkan bahunya lalu tersenyum.
"Seperti yang Papa lihat, alhamdulillah luar biasa."

Hendrawan menatap lekat putranya. Banyak terjadi perubahan dalam diri Ali yang baru ia sadari. Ali yang dulu badung, suka membantah, jika bicara selalu penuh amarah kini nampak lebih sopan.
"Kapan wisudamu?"
"InsyaAllah minggu depan."
Ada sejumput rasa bahagia dalam hati Hendrawan mendengar putranya berhasil meraih gelar sarjananya walaupun harus dengan waktu yang lebih lama dari seharusnya. Ali adalah penerus pemegang tampuk perusahaan karena dia adalah anak laki-laki di keluarganya. Karena tak selamanya Hendrawan mampu menjalankan perusahaannya,tentunya diusia senjanya ia hanya ingin menikmati masa-masa pensiunnya.
"Kapan siap masuk kantor?"

Ali nampak terkejut mendengar pertanyaan sang papa. Bukankah dulu ketika ia meminta sedikit posisi dikantor papanya dengan terang-terangan papanya menolak?
"Kenapa Papa mendadak menanyakan itu?"
Ada jeda sejenak untuk Ali menguasai keterkejutannya.
"Padahal dulu Papa terang-terangan menolak."

Hendrawan berdiri dari duduknya. Menghampiri Ali dan duduk di sebelahnya di sofa yang sama. Entah kapan terakhir kali mereka ngobrol sedekat ini.
"Sekarang udah saatnya kamu beradaptasi dengan suasana kerja di perusahaan."

Kedua pasang netra beradu saling menyelami. Hening mendera belum ada satupun yang melanjutkan bicara. Hingga kemudian Ali mencoba untuk mengungkapkan keinginan hatinya yang telah ia pikirkan semenjak pulang dari rumah sakit.
"Pa, sebelumnya aku mau minta maaf. Aku sudah punya rencana untuk kedepannya. Bukan maksud menolak ajakan Papa bergabung di perusahaan tapi aku ingin masuk pesantren. Aku ingin belajar agama lebih dalam lagi."

Hendrawan terperanjat mendengar penuturan Ali yang menolak bergabung dan malah memilih masuk ke pesantren. Senyum meremehkan tercetak jelas diwajahnya yang terlihat datar.
"Mau jadi apa kamu? Ustad? Yakin kamu bisa hidup dengan penghasilan dari kamu menjadi ustad?"
Ali tersenyum, lalu memandang lekat wajah sang papa yang nampak dari samping.
"Pa, ustad bukan profesi itu hanya sebutan dan menyebarkan ilmu agama bukan ranah untuk mencari harta. Aku akan mencari penghasilan sendiri untuk itu."
"Sombong sekali." sindir Hendrawan datar.
Lagi-lagi Ali tersenyum mau seperti apapun laki-laki di sebelahnya ini adalah papanya yang wajib ia hormati.
"Cukup minta doa restunya ya Pa, biarkan aku mencoba memulai semua dari nol dari kemampuan aku sendiri."
Ali berdiri hendak meninggalkan ruang kerja papanya. Dirasa tekadnya sudah bulat. Banyak sekali pelajaran hidup yang ia dapatkan selama ini yang menggiringnya untuk  fokus berhijrah.
"Aku permisi ya Pa, doakan aku supaya berhasil dan lancar segalanya. Percaya padaku Pa, aku tak akan mengecewakan Papa dan Mama lagi."

Ali berjalan kearah pintu,namun sebelum keluar ia kembali memandang papanya yang duduk diam di sofa.
"Aku sayang Papa."

***
Liza nampak terburu-buru menuju kelas saat mendengar bisik-bisik mahasiswa lain yang mengatakan Bela telah kembali masuk kuliah. Banyak sekali yang ingin ia bicarakan saat merasa kesulitan berkomunikasi dengan gadis cantik sahabatnya itu.

Nafas Liza terengah saat sampai di depan kelas. Pandangannya mengedar hingga menemukan sosok berhijab biru dengan motif bunga di ujungnya. Tak ada yang berubah tetap cantik seperti biasanya.

"Assalamualaikum....ya Allah Bela aku kangen." teriak Liza heboh berlari menghampiri Bela yang duduk di kursinya dengan senyum terukir jelas di wajahnya.
"Awwww..." pekik Liza saat kakinya tersandung kursi. Namun sama sekali tak dihiraukannya.

Bela tertawa sambil menutup mulutnya, melihat tingkah sahabatnya yang sangat ia rindukan.
"Hati-hati ih." ucap Bela memperingatkan.
"Aku kangen kamu susah banget sih dihubunginya." ucap Liza sambil memeluk Bela.

Senyum Bela mendadak pudar saat mengingat semua akses komunikasinya sementara ditutup oleh abinya.
"Maaf, ponsel aku disita abi." ucap Bela sendu.
Seketika Liza menyadari mendung memayungi wajah Bela. Ia sendiri merasa tak enak hati. Itu pasti ada kaitannya dengan sang kakak.
"Pasti ada kaitannya dengan Kak Ali."

Bela menghela nafasnya sejenak. Hatinya semakin tercubit saat lamat-lamat melihat duplikat wajah yang ada di hadapannya. Wajah Liza adalah wajah Ali versi perempuan.
"Maafin Abi ya Liz."
Bela nampak berkaca-kaca saat bersitatap dengan Liza. Rasa itu menyusup kembali.

Liza tersenyum lalu mengusap bahu Bela lembut.
"Gak apa-apa,wajar Abi berbuat seperti itu. Abi hanya ingin melindungi dan memberi yang terbaik untuk putrinya."
Satu butiran bening lolos dari mata Bela lalu dengan segera ia menghapusnya.
"Makasih ya Liz, aku pasrah dengan apa yang Allah pilihkan untukku."
Liza mengangguk lalu mendekap erat Bela yang kini tak mampu lagi membendung laju airmatanya.

***
Liza pulang dan segera berlari menujur kamar kakaknya. Tanpa mengetuk pintu ia langsung membuka dan mendapati sang kakak telah rapi dengan baju koko dan peci berwarna hitam melekat di kepalanya. Liza terpana melihatnya. Betapa tampan kakaknya saat ini.
"Kak Ali mau ke masjid?" tanya Liza sambil terengah.
"Ya iyalah masa mau dugem pakai kaya ginian." jawab Ali sewot.

Bukannya marah Liza malah tersenyum kakaknya kembali dengan mood jailnya. Setelah beberapa hari terlihat murung.
"Biasa aja keles...gitu aja nyolot."
"Nyolot????emang Kakak kodok nyolot-nyolot?"

Bagaimanapun Liza bahagia melihat kakaknya kembali bersemangat tetap saja mulutnya gatal jika tak menimpali setiap ucapan kakaknya.
"Ishhhh...gitu amat sih." rajuk Liza manja.
Ali diam tak menanggapi tingkah manja sang adik. Ia melanjutkan langkahnya keluar kamar. Udah saatnya adzan ashar berkumandang. Namun tangannya yang hendak meraih handel pintu terhenti saat Liza berkata.
"Tadi aku ketemu Bela." ucap Liza setengah berteriak. Ali lagi-lagi hanya diam tak menanggapi tak juga melanjutkan langkahnya.
"Bela udah masuk kuliah dan tadi..."
"Jangan bicarain itu ya Dek, udah waktunya ashar, Kakak gak mau telat hanya karena urusan duniawi." potong Ali lalu berlalu pergi. Meninggalkan Liza yang diam terpaku tak percaya melihat reaksi sang kakak.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang