(XXXII) Akhir

4.7K 219 49
                                    

Gara-gara mas Farid aku jadi terlempar ke lorong kenangan semasa esempe.......

Cinta monyet monyetan,,,,sosok yang jadi idola dulu waktu masih bau kenzurrrr.... Nihhh jelasss gara-gara si @lizious4 memaksaku menyerah pada keadaan yang harusnya aku publish minggu depan.



Waktu berjalan begitu lambat menurut Ali. Dua minggu sejak kepulangannya dulu membuatnya gelisah. Ingin mengajukan cuti untuk tiga hari saja dia harus begitu banyak melobi para bagian tata usaha pesantren. Ditambah dia mendapat penawaran untuk belajar di Kairo sungguh penawaran yang sangat baik. Namun hatinya meronta ia ingin memperjelas semua sebelum ia mengambil keputusan untuk tawaran itu.

"Tolong pak, saya ijin cuma tiga hari saja lagi pula saya harus merundingkan penawaran ini dengar orang tua saya." ucap Ali dengan sedikit memelas.
"Tapi Mas Ali jatah liburnya udah habis kemarin Mas Ali ambil jadi gimana dong?gak bisa ini." kata seorang pegawai tata usaha yang bernama Joko.

Ali nampak lesu mendengar alasan kenapa sampai ia tak bisa ijin lagi.
"Bagaimana kalau orang tua Mas Ali aja berkunjung ke sini?" ucapnya memberi solusi.
"Gak bisa Mas, masalahnya ada hal yang harus saya lakukan di sana dan ini benar-benar mendesak."

Pembicaraan mereka terpotong saat Farid datang.
"Ada apa Mas Joko?"
"Ini ustadz, Mas Ali mau ngajuin ijin buat pulang katanya mendesak."
Farid mengalihkan pandangannya pada Ali. Terlihat jelas raut pengharapan dari wajah pria yang duduk di sebelahnya.
"Ada keperluan lagi Li?" tanya Farid yang otomatis membuat Ali menatapnya.
"Iya ustadz." jawab Ali singkat.
"Kalau boleh tahu ada keperluan apa?"
Ali nampak bingung untuk menjawab.
"Emmmm...anu..itu..ustadz..saya mau...emmm"
"Saya paham." potong Farid kemudian.

Ali nampak sumringah di wajahnya. Akhirnya ia mendapatkan ijin untuk pulang lagi, itu berarti ia akan segera melaksakan niatnya menemui orang tua Bela. Tentu saja ini atas bantuan Farid yang mencoba membantunya melobi pada bagian tata usaha.
"Mau pulang kapan Li?" tanya Farid yang sudah ada disampingnya.
"Nanti ustadz, mau cari tiket dulu."

Farid mengangguk.
"Saya kira sekarang, kalau iya kita bisa bareng."
Ali melongo, semua serba kebetulan.
"Ustadz juga mau ke Jakarta?"
"Iya, sama kayak kamu, saya akan menghitbah gadis pilihan saya."
Senyum di wajah Ali mengembang, tangannya secara gesit menyambar tangan Farid untuk menyalaminya.
"Selamat ustadz, saya ikut bahagia. Semoga niat baik kita dilancarkan Allah."

Farid membalas hal yang sama pada Ali. Kemudian dengan rasa bahagia yang membuncah hampir saja ia melompat kegirangan.
"Kalau begitu saya permisi mau cari tiket dulu. Ustadz mau naik apa? Kalau belum dapat tiket biar saya carikan sekalian" tawar Ali penuh semangat.
"Terima kasih, saya udah dapat tiket pesawat ini juga mau langsung ke bandara."
Ali mengangguk mengerti lalu dengan setengah berlari Ali pergi meninggalkan Farid yang tersenyum melihat tingkah kekanakan Ali. Tanpa disadari sesuatu yang selama ini Ali simpan rapat terjatuh dihadapan Farid yang kemudian mengambilnya

***
Perjalanan pulang kali ini Ali sengaja menggunakan jasa kereta eksekutif. Niatnya ingin buru-buru sampai rumah memangkas waktu yang terasa lama.
Senyum tak pernah lepas dari wajah Ali. Rasa bahagia yang ia gadang-gadang akan segera ia dapatkan mengalahkan segala rasa lelah di tubuhnya. Wajah gadisnya menari-nari di pelupuk matanya. Ali mendekap bungkusan oleh-oleh yang sengaja ia bawa untuk gadis impiannya.
"Ya Allah semoga ini saat yang tepat untukku dan untuknya." gumam Ali lirih. Diikuti mata yang perlahan terpejam. Dengan harapan agar waktu tak terasa lama.

***
Bela sedang mematut dirinya di depan cermin rias di kamarnya. Malam ini Bela akan mendapat kunjungan dari Farid dan keluarganya untuk tujuan menghitbahnya. Tampak riasan tipis di wajahnya. Namun tak serta merta membuat wajahnya nampak berbinar. Tetap terlihat gurat kesedihan di wajahnya walau sudah ia coba tutupi sebaik mungkin.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang