(XXXXII) Yakin

4.7K 206 8
                                    

Setiap permasalahan, apapun itu jika rasa ikhlas telah bercokol dihati semua akan terasa lebih ringan. Bahkan disaat kesakitan demi kesakitan yang bertubi-tubi hadir. Hampir semua hanya ibarat terserempet duri yang rasanya akan hilang sendiri bahkan dengan mengabaikannya.

Dengan keyakinan jika Allah tak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya, semua akan mengalir tanpa rasa pedih yang berarti.

Seperti kehidupan rumah tangga Ali dan Bela, semua nampak santai dalam menghadapi setiap masalah. Sejak kejadian malam di mana Bela dengan gamblang mengatakan bahwa dirinya telah mengetahui semua masalah suaminya, sejak itu pula semangat Ali bertambah ribuan kali lipat. Tak ada tedeng aling-aling saat dia secara rutin memenuhi jadwal konsultasi dokter. Bahkan tak jarang Bela dan Kiran akan menunggui Ali sekalian mendengar setiap detail penjelasan dokter.

Seperti sekarang Kiran nampak sibuk dengan boneka barunya yang baru saja dibelikan Ali sebelum menuju tempat praktek dokter yang menangani Ali. Antrian nampak panjang mengharuskan Ali dan Bela menunggu sedikit lebih lama.

"Ma, Kiran mau pipis." ucap Kiran yang sedikit kelimpungan menahan sesuatu yang mendesak ingin ia keluarkan.

Bela yang awalnya duduk di samping Ali langsung berdiri menggendong Kiran yang sudah nampak tak nyaman. Kiran selalu tak mau jika dipakaikan diapers. Ia akan langsung kembung bila memakainya.
"Sama Papa aja ya?" tawar Ali yang ikut berdiri.

Kiran menggelngkan kepalanya cepat.
"Mau sama Mama."

"Ya udah yuk ke toilet, biar Papa di sini aja."

Bela berjalan sedikit terburu dengan menggendong tubuh gempal Kiran. Putrinya nampak sudah tak tahan lagi menahan pipis.

Ali berulang kali melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah lima belas menit Bela dan Kiran belum juga kembali. Namun matanya seolah mengunci sebuah pergerakan seorang wanita berhijab yang nampak berjalan menuju kearahnya dengan pandangan tertunduk dalam. Seoalah ingatannya terlempar pada masa kehidupan bebasnya dulu.

"Yos..." ucap Ali saat wanita itu berjalan melewatinya.

Merasa namanya disebut wanita itu berhenti lalu mengangkat kepalanya. Sesaat nampak terkejut saat mata mereka beradu.
"Kamu beneran Yosi kan?" tanya Ali meyakinkan.

Wajah wanita itu nampak gelagapan. Tak menyangka bertemu dengan pria yang pernah menghuni hatinya.

"I...iya..hai Ali apa kabar?"

Kecanggungan nampak begitu kentara pada mereka berdua. Sesuatu yang terjadi dimasa lalu yang bisa dibilang tak baik menjadi salah satu penyebabnya. Masih jelas dalam ingatan Ali saat Bela terbaring di ICU gara-gara kecemburuan Yosi. Saat dimana menjadi titik awal kesulitan Ali untuk meraih Bela serta menjadi titik balik untuk kehidupan Ali menjadi lebih baik.

"Alhamdulillah baik, kamu juga mau periksa juga?"

Yosi mengangguk kaku, segera ia tundukkan kembali pandangannya. Dalam hati ia merutuki diri sendiri, kenapa harus bertemu Ali disaat seperti ini. Saat dia harus berupaya menutup aib dirinya.

"Sendirian? Suamimu mana?" tanya Ali dengan sesekali mengedarkan pandangan kearah lain. Mencoba menangkap sosok pria yang menjadi suami dari teman gilanya di masa lalu.

"Emmmm....Ali gue buru-buru nih. Permisi."

Dengan langkah kilat Yosi meninggalkan Ali yang terpaku menatap punggung Yosi yang semakin menjauh. Lama tak bertemu sejak kasus Bela yang mengharuskan Yosi mendekam beberapa bulan di penjara, karena kabarnya hukuman diperingan karena pihak keluarga yang menjamin kebebasannya. Nampak terjadi keanehan dari tindak tanduk Yosi yang tertangkap mata Ali, namun ia mencoba menepisnya.

"Siapa Mas?"
Ali tersentak dari lamunannya saat Bela sudah berada di sebelahnya dengan menggendong Kirana.

Ali menarik tangan istrinya mengajaknya kembali duduk di kursi tunggu.
"Kamu ingat orang yang dulu menabrakmu? Dan yang membuat dunia kita jungkir balik tak karuan hingga kita bisa sampai ketahap ini?"

Sejenak Bela mencoba mengingat,kemudian mengangguk.
"Dia Yosi, teman Mas dulu." lanjut Ali pelan.

"Sepertinya dia sudah berubah, dia berhijab sekarang." ucap Bela seraya membenahi posisi Kiran di pangkuannya.

"Semoga saja...tapi.."

Perkataan Ali terputus saat namanya dipanggil. Tiba gilirannya untuk masuk.

***
Bela berjalan berdampingan dengan Ali yang menggendong Kiran. Seusai konsultasinya, alhamdulillah ada perkembangan lebih baik.
"Pa, pelut mama-mama yang ada di tempat tadi besar-besar didalamnya ada dedek bayinya ya?"

Ali tergelitik dengan pertanyaan Kiran. Sepertinya balita ini begitu penasaran dengan isi perut besar wanita yang memeriksakan diri tadi.

"Iya sayang, itu dalamnya ada dedek bayinya. Semua manusia termasuk Kiran juga dulu di dalam perut mama." jelas Ali sambil membuka pintu mobil.

Bela masuk lalu menerima Kiran untuk ia pangku. Ali berjalan mengitari mobil lalu masuk dan duduk di kursi pengemudi.
"Belalti...mama juga pelutnya ada dedeknya donk?" tanya Kiran yang tubuhnya tiba-tiba berbalik sedikit. Tangannya terulur menyentuh perut Bela.

Ali diam sejenak,melirik Bela yang juga menatapnya. Pertanyaan tak terduga dari Kiran mau tak mau sedikit memberi cubitan di hatinya.

"Perut Mama belum ada dedek bayinya sayang...lagi usaha. Kiran bantuin doa ya biar perut Mama cepet ada dedek bayinya." terang Bela lembut.

"Emmmm...." jawab Kiran sambil menganggukkan kepalanya berulang kali. Bela tersenyum memaklumi Kiran yang tak tau apa-apa tentang dirinya dan Ali. Tangan Bela terulur mengusap lengan Ali yang sedang menyetir. Mencoba menyalurkan kehangatan dan kekuatan.

"Kalau begitu tadi Papa yang dipeliksa dokter, apa mungkin pelut papa ada dedek bayinya?"

Celetukkan Kiran tak ayal membuat Ali dan Bela seketika tertawa. Balita dan segala pemikiran polosnya. Mata bulat Kiran memandang Ali berharap ada jawaban darinya.

"Sayang....." rajuk Ali pada Bela yang belum juga menghentikan tawanya. Ia bingung harus menjawab apa atas pertanyaan Kiran. Kali ini ia benar-benar membutuhkan bantuan istrinya.

"Kiran sayang...perut Papa gak bisa di dalamnya ada dedek bayinya. Cuma perut seorang Mama yang diberi keistimewaan oleh Allah untuk mengandung dedek bayi." jelas Bela lembut.

Mendadak raut wajah Kiran yang berbinar mendadak redup. Dan ini sangat jelas disadari oleh Bela.
"Sayang, kenapa?"

Tangan Bela terulur mengusap pipi gembil Kiran.
"Kenapa Kiran gak di dalam pelut N
Mama Bela aja ya?" ucap Kiran sendu.

Ali mengulurkan sebelah tangannya untuk menyentuh puncak kepala balita yang kini menjadi putrinya. Tak ada ucapan yang keluar dari mulut Ali karena dia sendiri tak mampu untuk membalas pertanyaan krusial nan polos seperti itu.

"Sayang, tanpa Kiran di perut Mama Belapun Kiran menjadi putri Mama Belakan? Mungkin ini jalan yang Allah pilihkan untuk kita. Yang penting sekarang Kiran menjadi putri cantik Mama dan Papa yang pastinya sayang ma Kiran. Ya kan Mas?"

Ali mengangguk dengan senyum tulus di wajahnya. Sisi hatinya menghangat melihat interaksi dua wanita di sebelahnya. Rasa syukur tak pernah putus ia ucapkan atas segala nikmat yang telah Allah berikan padanya. Memiliki istri sebaik Bela adalah anugrah yang tak terhingga baginya. Wajah,sifat dan hatinya yang begitu cantik perpaduan yang pas, maka tak berlebihan jika ia selalu mengibaratkan istrinya adalah bidadari yang Allah kirimkan untuk menggandengnya ke jannah.

Lamunan Ali mendadak buyar saat Kiran membuat dirinya dan Bela mati gaya dengan celetukan spontannya.
"Iya Kiran juga sayang Mama dan Mas. Iya kan Mas?"
Bela menggigit bibir bawahnya sedangkan Ali memukul dahinya sendiri saat mendengar Kiran memanggilnya "Mas" menirukan panggilan Bela padanya.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang