(XXIII) Guyuran Jamu

4.9K 224 5
                                    

Tak ada yang berarti dari hati yang retak selain respon positif dari si penerima hati yang terpilih. Rasanya mampu membangkitkan kembali semangat yang sempat padam. Ibaratnya seperti lem kwalitas tinggi yang mampu merekatkan suatu keretakan. Bukan gelas ataupun barang yang lain jika direkatkan tetap akan berbekas. Tapi ini perasaan yang tersimpan di hati yang sempat retak tapi ini lemnya jelas bukan buatan tangan manusia. Akan tetapi dari ketulusan hati dan doa yang terus mengalir. Tak ada yang tak mungkin untuk kembali utuh jika sang pemilik hati menghendaki utuh.

Ali hampir saja meloncat turun dari tempat tidurnya melupakan sakit dan tangannya yang masih tersemat jarum infus. Saat membaca dengan seksama dan dalam tempo selambat-lambatnya untuk meresapi maksud dari isi tulisan itu. Dan pikirannya langsung terfokus dalam kalimat jangan menyerah kemudian secara otomatis ia menyimpulkan jika Bela tak ingin dia menyerah dan mengharap dia untuk memperjuangkannya.

Ali menyibak selimutnya pelan saat menyadari Liza terlelap dalam tidurnya. Tekadnya sudah bulat untuk menemui Bela. Tak ia hiraukan bagaimana akibat baginya saat ini ia butuh bertemu Bela. Perlahan ia turun dari sisi yang ada penyangga infus. Menggesernya,Ali berjalan pelan. Sebut saja Ali nekad tapi itulah yang terjadi. Tubuhnya seolah mendapat guyuran jamu segalon sehingga nampak begitu kuat dan kembali perkasa.

Hampir saja tangannya meraih handle pintu saat suara mengagetkannya.
"Ehmmm....mau kemana Kak?" tanya Liza yang kini sudah duduk bersedekap di sofa.
Ali menolehkan kepalanya. Nampak gugup seperti maling kolor ketangkap basah pemiliknya.
"Emmmm...anu...Kakak mau pipis."

Liza tersenyum miring lalu berdiri dan beranjak dari sofa mendekati Ali.
"Emang mau pipis dimana? Di taman? Mau gitu tititnya disunat lagi?"

Ali bergidik ngeri mendengar dan membayangkan omongan Liza. Apa jadinya kalau sampe disunat lagi, pasti akan sangat mengganggu keberlangsungan calon penerus keluarga.
"Ishhh...Dek..Dek itu mulut mbok ya disaring kalau ngomong. Titat titit...titat...titit. Mulutnya dihijabi juga bisa gak?"
Liza melengos sambil tangannya reflek menutup mulutnya.
"Yang dihijabi tu aurat Kak ih. Trus kan apa namanya kalau bukan titit?"
Dengan gemas Ali mencubit mulut Liza sampai terlihat monyong. Liza bersungut kesal dengan kelakuan kakaknya.
"Udah ah Kakak mau pipis."
Ali kembali ingin memegang handle pintu kembali tertahan saat kerah bajunya ditarik oleh Liza.
"Toiletnya ada didalam kenapa keluar kamar?"

Ali dengan terpaksa kembali memutar tumitnya berbalik berjalan menuju tempat tidur dengan sangat kesal.
"Kakak...mau ketempat Bela kan?" tanya Liza penuh selidik.
"Kakak ini gimana sih gak sadar apa kalau abi lagi sensitif ma Kakak? Ibarat kata Kakak tu sudah di black list dari calon mantu Abi Amir."
Ali melotot mendengar kata black list keluar dari mulut Liza.
"Itu mulut ya ampun Dek....gitu amat ya. Inget ucapan itu adalah doa. Tega baget sih kamu sama Kakak."
Ali benar-benar kesal, lalu memutuskan menaiki ranjang dan kembali berbaring memunggungi Liza.
"Lho katanya tadi mau pipis kok malah tidur..awas ngompol lho." canda Liza yang tak berhenti menertawakan tingkah sang kakak.
"Bodo amatlah...."
Liza menatap punggung sang kakak dengan tersenyum. Kakaknya dalam mode ngambek dan ini menandakan bahwa kakaknya telah kembali membaik hati dan tubuhnya.

***
Bela sudah lebih terlihat segar setelah operasi pemasangan pen di kakinya. Kepalanya sudah tak berdenyut lagi. Hanya sesekali saja dan itu wajar karena semua kesembuhan itu butuh proses.

Bela duduk di kursi roda dengan abi Amir yang menemaninya. Saat ini Bela ingin menghirup udara segar ditaman rumah sakit. Jenuh telah melingkupi dirinya. Entahlah ia merasa suasana hatinya yang senyap tak seperti biasanya.
"Bey..." panggil abi Amir memecah keheningan. Tak ada jawaban hanya sepasang mata yang mulai fokus pada wajah abi Amirlah yang menandakan Bela merespon panggilannya.
"Abi ingin kamu bisa jauhi pria itu."
Tegas, bukan sebuah pilihan tapi sebuah keputusan.
"Tapi kenapa Bi?"
Abi Amir mengalihkan posisinya yang awalnya berdiri di belakang Bela menjadi maju dan duduk di bangku taman yang tak jauh dari hadapan Bela.
"Abi ingin kamu dapat pria yang baik."
Bela menghela nafas, ada rasa nyeri dihatinya saat mendengar alasan dari abinya.
"Apa menurut abi dia bukan pria yang baik?"
"Abi tak ingin putri Abi terluka."
Bela diam,meneliti guratan rasa sedih di wajah renta abinya. Ya,Bela sangat mencintai dan menghormati abinya, bahkan abinyalah cinta pertama Bela. Seorang laki-laki yang gigih berjuang untuk keluarganya.  Yang menjadikan dirinya pantas untuk dijadikan imam. Abinyalah yang menjadi patokan bagi Bela untuk penilaian pasangannya kelak. Jelas Bela tak ingin membuat sakit hati abinya. Bukan hanya karena takut dosa tapi karena terlalu sayang.

Terjadilah perang batin dalam dirinya. Dia sayang abi dan juga pria itu yang telah diam-diam menyusup kerelung hatinya. Tangan Bela terulur menggenggam tangan abinya yang terlihat keriput dan menggelap.
"Abi, kalau yang Abi maksud luka yang seperti ini, bukankah Abi selalu mengajari Bela untuk selalu berserah diri?" kata Bela sambil ibu jarinya mengusap punggung tangan abinya.
"Bukankah hidup mati manusia itu rahasia Allah dan tak ada satupun manusia yang berhak menentukan?" lanjut Bela dengan suara lembut dan penuh kehati-hatian. Bela tak ingin memberontak tapi tak ingin pula menyerah. Dia yakin semua ini hanya butuh waktu untuk berproses.
"Abi...ingat gak dulu waktu Bela masih kecil, Abi ngajarin Bela naik sepeda dan akhirnya Bela terjatuh? Lutut Bela berdarah dan itu sakit Bi..." ucap Bela dengan nada merajuk.
"Bela nangis kenceng banget sampai teriak-teriak. Lalu Abi datang dan gendong Bela."
Abi Amir tersenyum mendengar cerita Bela. Pikirannya melayang saat Bela masih berusia lima tahun. Betapa lucu dan menggelikannya tingkah Bela waktu itu.
"Abi inget gak waktu itu Abi ngomong apa sama Bela?" tanya Bela membuyarkan lamunan abinya.
"Saat itu Abi bilang jangan takut terluka Neng, karena luka itu yang akan membuatmu semakin kuat."
Bela memandang tepat di manik mata abinya yang menyorotnya nanar.
"Dan Bela sekarangpun ingin menerapkan wejangan Abi saat itu."

Abi Amir diam tak berkutik, ucapan Bela benar tapi sebagai seorang abi ia tetap tak ingin melihat anaknya terluka dan itu sangat wajar. Bahkan bukan abi Amir saja pastinya seluruh orang tua diseluruh dunia juga merasakan apa yang abi Amir rasakan. Tak ingin melihat anak-anaknya terluka.
"Abi ingin kamu mendapat pria yang pantas, pria yang tepat untuk kamu jadikan imam, pria yang mampu memberikan hadiah menakjubkan disaat pernikahan kamu."
Bela menggeleng lemah tak percaya abinya mampu mengeluarkan kalimat terakhir itu, hadiah yang menakjubkan.
"Apa Abi sudah mulai berfikir soal harta Bi?"
Berganti abi Amir yang sekarang tak percaya putrinya mampu berfikir seperti itu.
"Bukan Nak, bukan itu demi Allah bukan harta yang Abi maksud. Sudah berapa lama kamu tinggal bersama Abi apa kamu tak mengenali Abimu ini? abi hanya ingin ada seorang pria meminangmu dengan hafalan Al-quran dan menghadiahimu dengan surah Ar-Rahman itu saja. Dan bagi abi tak ada yang lebih menakjubkan dari isi Al -quran."

Jleb...seperti sebuah tusukan pisau tajam pada jantungnya. Bela menangis saat menyadari betapa tega ia sempat berfikir seperti itu pada abinya. Hanya demi membela pria yang belum tentu menjadi jodohnya, ia sempat melukai hati abinya dengan pikirannya seperti itu. Bela merentangan tangannya seperti sebuah permohonan untuk dipeluk. Airmata telah menganak sungai di wajahnya. Dan tentu saja rentangan tangan itu bersambut. Tak ada orang tua tega melihat putrinya menangis. Abi Amir memelu Bela yang menangis, tangannya mengusap lembut puncak kepala putrinya yang tertutup oleh hijab berwarna kuning gading itu.
"Maafin Bela Bi, ampuni Bela Bi...hiks..hiks.." isak Bela dalam pelukan.
"Sudahlah Neng kita pasrahkan saja kita ikuti skenario yang Allah berikan untuk kita. Abipun tak bisa apa-apa jika Allah berkehendak tak sesuai keinginan Abi."

Mereka larut dalam keharuan, saling meminta maaf dan memaafkan. Lalu tak ingin menambah panjang perdebatan lagi Bela memutuskan meminta abinya untuk membantunya kembali ke kamar.
"Ya Allah,hamba pasrahkan seluruh hidup dan matiku padaMu. Jika memang yang terjadi bukan dialah yang akan bersanding denganku, sungguh aku ikhlas dan aku tak menyesali telah menyebut namanya dalam setiap doaku. Yang kumohon hanyalah berikanlah jodoh yang terbaik untukku dan untuknya ya Allah."


Yeeeee akhirnya update lagi, semoga gak pada bosen ya? Aku bayangin dipart ini saat percakapan Bela dan abinya adalah wajah bapak.... 😭😭😭😭😭😭😭

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang