(XVI) Harus Bisa

5.1K 209 14
                                    

Beberapa kali Ali harus merayu Liza agar membantunya membuat skripsi. Jujur saja ia tak mampu jika harus menyelesaikan sendiri. Udah berkali-kali ia harus merevisinya dan sesekali mendapat omelan dosen pembimbing. Otaknya memang tak se encer otak Liza yang dari dulu menjadi kebanggaan keluarga.
"Bantuin Kakak donk Dek....ini gimana biar gak ditolak mulu."

Liza yang jengah dikintilin Ali mulu akhirnya diam menyimak keluhan kakanya.
"Punya abang banyak dapat coretan please bantuin abang donk biar bisa ACC, gak kasian apa, abang gak lulus-lulus ntar kalau sampe di DO gimana?"

Liza mendengus kesal lalu melipat kedua tangannya didada.
"Kemarin kemana aja kak? Kenapa baru mikir sekarang? Kakak sendiri kan yang lebih mentingin hura-hura ma genk nista Kakak itu?"

Ali hanya menunduk mendengar rentetan api yang kluar dari mulut adiknya. Ingin menyangkal tapi apa boleh buat omongan Liza benar adanya.
"Papa mama udah sering ingetin kakak tapi mental semua, sekarang kakak minta tolong aja sama mereka genk kakak itu. Atau noh sama Yosi si kunti satu itu."
Ali terperanjat mendengar nama Yosi disebut Liza dengan tambahan nama "kunti" biasanya Liza gak pernah nyebut itu ke Yosi.

"Kok kunti?"
"Kenapa? Gak trima aku sebut dia kunti? Jelas aja dia yang gak ada urusan apa-apa tiba-tiba muncul di kampus pake drama sok tersakiti lagi."

Ali makin tak mengerti arah pembicaraan sang adik tentang Yosi, kunti dan drama sok tersakiti.
"Maksudnya gimana sih dek, jangan bikin kakak makin bingung deh. Ni otak tu cupet gak bisa kalo diajak mikir muter-muter."
Liza memutar bola matanya malas, jika menghajar seseorang tak berdosa ingin rasanya sekali kali ia menghajar kakaknya yang bebal ini.

Astaghfirullahhaladzim......
"Pusing deh kak mau mulai dari mana, intinya tu kunti piaraan kakak tiba-tiba datang ke kampus nyariin aku dan berlagak manis sampai panggil aku adik ipar. Euwwww...nggilani banget gak sih bayangin punya kakak ipar yang tiap malem dugem,mabok trus ngaku orang kaya tapi bajunya cuma dari kain sejengkal."

"Husss...ngomongnya istighfar dek gak boleh nyinyirin orang kaya gitu." ucap Ali berusaha bijak, adiknya ini walau sudah berhijab namun masih suka lepas kontrol kalau lagi emosi.
"Lagian cuma gitu doank kan gak yang giman-gimana." lanjut Ali enteng.

Liza makin bersungut emosi saat melihat wajah tanpa dosa sang kakak. Senyum meremehkan muncul diwajahnya.
"Ck...yakin???kalo udah denger lanjutannya kakak bisa bilang cuma itu doank?"
Ali menatap Liza dengan alis mengkerut. Tak mengerti teka teki yang harus ia tebak selanjutnya.
"MASALAHNYA DISITU ADA BELA ALIIIIIII...." ucap Liza berteriak didepan kakaknya. Nafasnya naik turun akibat luapan emosi yang ia simpan.

Ali terperanjat, bukan karena teriakan Liza tapi lebih ke ucapannya yang mengatakan Bela ada disitu saat Yosi memanggil adik ipar kepada Liza itu berarti.
"Ya ampun berarti Bela???no...no..ini gak bisa dibiarai stabilitas masa depan kakak bisa terancam."

Detik berikutnya Ali memakai kembali jaketnya yang sempat ia lepas dan menyambar kunci motor yang ada diatas meja.
"Kakak mau kemana?" ucap Liza menahan lengan Ali.
"Mau kerumah Bela,kakak mau jelasin semuanya."
Liza menggelengkan kepala tak havis fikir dengan tingkah sembrono kakaknya apa ia tak sadar waktu.
"Kakak mau di cambuk abi Amir kalo datang kesana sekarang? Liat ini jam berapa?"

Ali mengangkat tangannya menyibak sedikit lengan jaketnya yang menutupi jam tangannya. Kemudian Ali mendesah kecewa saat tau sekarang sudah jam 10 malam tubuhnya ia jatuhkan kasar ke sofa lalu kedua tangannya meremas dan mengacak rambutnya frustasi.
"Ya Allah...ada apa lagi ini...kakak harus gimana dek." ucap Ali dengan mata memerah.

Liza merasa kasian melihat kakaknya yang tengah dilanda kegamangan. Lalu Liza memutuskan mengikuti Ali duduk disebelahnya.
"Kak,,gak mudah memang untuk berjalan sampai titik ini. Jangan menyerah..kakak harus bisa."

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang