(XXX) Mencoba Kembali

4.3K 205 15
                                    

Sebuah keluarga yang dulunya terpecah dengan ego dan kepentingan masing-masing, kini nampak berkumpul dengan kehangatan sebuah keluarga yang sebenarnya. Dengan sama-sama mengaitkan hati kepada nilai-nilai agama membuat mereka kini memiliki misi yang sama yaitu menggapai ridhoNya.

Entahlah, Liza yang selalu nampak sebagai gadis yang mandiri kini mendadak seperti bocah kecil yang bergelayut manja di lengan sang papa. Sedangkan Ali nampak sibuk mengganti-ganti chanel televisi mencari acara yang menurutnya sesuai dengan keinginannya.
"Liza kenapa mendadak bocah ya?" goda Renata yang datang membawa setoples kue nastar dan empat cangkir coklat hangat.
"Ishhh...Mama iri aja kan udah lama Liza gak manja gini ma papa."

Hendrawan sedikit tersentil dengan ucapan putrinya. Dengan lembut tangannya yang bebas merengkuh pula bahu istrinya.
"Maafin Papa ya Nak. Sekarang Papa akan memanjakan kamu dan mama karena kalianlah cinta pertama dan terakhir Papa."
"Iuhhhhh....gombal...." ucap Liza dan mamanya bersamaan.

Ali tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat interaksi keluarganya sekarang. Namun masih ada satu kekosongan dalam hatinya dan entah apa Ali sendiri tak berani menyimpulkan ataupun menerka-nerka. Baginya kini semua yang ada di hadapannya saat ini wajib ia syukuri dan nikmati.
"Bagaimana di pesantren Li?" tanya Hendrawan pada putra kebanggaannya kini.
"Alhamdulillah lancar Pa, Ali betah di sana."

Hendrawan tersenyum mengingat kegigihan putranya untuk istiqomah dalam berhijrah.
"Papa dengar kamu buka warung tenda apa itu benar?"

Ali mencomot kue nastar dalam toples, memakannya dengan khidmat.
"Iya Pa, tapi bukan Ali yang jalanin. Ada temen Ali di daerah kemang, dia yang jalanin. Ali cuma nanam modal aja,untungnya dia transfer ke rekening Ali."
"Papa bangga sama kamu. Ini ibarat pembuktian dari ucapanmu dulu. Papa malu sempat remehin kamu nak."

Renata menegakkan tubuhnya, menghadap penuh ke arah putranya.
"Terus bagaiman dengan calon? Apa sudah ada?" tanya mamanya dengan gestur bercanda.

Ali terkekeh kemudian ada suara yang menjawab pertanyaan mamanya itu. Bukan Ali dan itu Liza.
"Kakak udah punya tambatan hati Ma tinggal dihalalin aja. Tapi gak tau kapan."
"Dek..." sergah Ali datar.
"Lagian baru juga digertak doang udah milih menjauh."

Ck....Ali sedikit merutuki kecomelan mulut adiknya. Ingin rasanya ia mencubit-cubit tu mulut biar berhenti nyerocos.
"Kalau kamu mau, Papa bisa lamarkan dia buat kamu Li."
Ali hanya diam tak menjawab dalam hatinya sangat bersyukur jalan menuju pada impiannya sudah mulai terbuka. Namun masalahnya bukan pada Ali, bahkan saat papanya belum seperti inipun Ali siap untuk melangkah. Masalahnya ada pada pihak Bela.
"Tuh Kak, buruan keburu diembat orang lho. Biarkan orang tua yang beradu dengan orang tua, Kakak cukup hadepin anaknya aja." ucap Liza dengan antisias.
"Ck....Lizaaa...kamu anggap Papa ikan cupang harus beradu segala."

Seketika suasana riuh oleh gelak tawa mereka. Moment yang sangat jarang dinikmati namun segalanya telah berubah dan ini semua atas ridho Allah tentunya.

***
Bela sibuk dengan buku yang dibacanya. Buku tebal yang ada di tangannya membuatnya tak beralih fokus sedikitpun. Ditambah lagi tiupan angin yang memberi udara segar disekitarnya membuatnya nampak khusyuk menekuri buku bs judul "Khadhijah The first love of Muhammad".

Berkali-kali ponselnya bergetar tak dihiraukannya. Ada rasa enggan menghinggapi hatinya saat tahu siapa di balik layar ponselnya.

Farid berulang kali menelponnya. Rasa canggunglah yang membuat Bela enggan mengangkat telponnya. Tak tau apa yang harus ia bahas saat sedang berkomunikasi. Bela akan lebih sering membalas pesan chatnya dari pada berbicara langsung dengannya. Jelas jika dengan berbalas chat setidaknya ada waktu Bela untuk memikirkan balasan yang pantas untuk setiap pesannya.

"Assalamualaikum Bey...serius amat." sapa Liza yang langsung mendudukkan pantatnya pad kursi taman.
"Walaikumsalam Liza????"
Bela melihat pendar kebahagian di wajah Liza. Beberapa hari murung hari ini Liza nampak bahagia. Ini berarti ada hal yang baik yang terjadi padanya.
"Kok malah bengong sih? Gak kangen ya ama aku?"
Bela menutup bukunya memangkunya dengan rapi.
"Kangen banget...kangen liat Liza ceria lagi seperti ini."
Liza memeluk sahabatnya ini dengan erat ada banyak hal yang ingin dia ceritakan pada Bela.
"Papa mama udah kembali Bel."
"Alhamdulillah...." seru Bela bahagia.

Liza mengangguk-angguk lucu. Ekspresi seperti ini yang sempat menghilang beberapa waktu.
"Aku ikut bahagia Liz. Kok kamu gak kasih tau aku sih?"
Mendadak Liza mengerucutkan bibirnya.
"Gimana mau kasih tau nomor baru kamu aja aku gak tau."
Bela menepuk jidatnya sambil memelototkan mata sipitnya.
"Astagfirullah aku lupa!!!!"
"Lupa atau takut aku kasih tau Kak Ali?"
Liza menutup mulutnya cepat. Sungguh ia tak sengaja mengucapkan itu semua. Ia lupa bahwa nama kakaknya sangat sensitif ditelinga Bela. Ada sedikit penyesalan saat melihat Bela tiba-tiba terdiam.
"Bel, maaf bukan maksud aku..."
"Gak apa-apa tapi beneran kok aku lupa bukan maksud yang lain." potong Bela lirih.

Liza kembali merangkul bahu Bela,menyandarkan kepalanya pada bahu sahabatnya itu.
"Tapi beneran kok Bel, Kak Ali sedang ada di rumah, Kakak sudah banyak berubah. Dia benar-benar berjuang untuk memantaskan diri."
Bela mengangguk matanya mengerjap-ngerjab menghalau kabut yang tiba-tiba hadir di matanya.
"Iya, semoga Mak Ali mendapat yang terbaik."

Liza menegakkan tubuhnya mengambil benda yang ada dipangkuan Bela. Ia tak ingin suasana seperti ini.
"Khadijah the first love of Muhammad." Liza membaca judul buku itu.
"Cie...berat banget sekarang bacaannya." goda Liza sambil menoel-noel pipi Bela.

Seketika Bela tersipu malu dengan godaan Liza pipinya memerah mirip sekali dengan sapaan sayang Ya Humairah.
"Apaan sih..."
"Bey sadar gak sih kamu itu first lovenya seseorang yang bernama awalan Muhammad juga?"
Bela terperanjat,ia tak menyangka Liza berkata seperti itu. Bahkan ia sendiri tak tau siapa yang dimaksud Liza.
"Aku hanya doakan kisahmu akan seperti Khadijah cinta pertama Nabi Muhammad." ucap Liza yang membuat Bela begitu banyak tanda tanya bertebaran dalam pikirannya.

Baru saja Bela akan membuka mulut untuk bertanya, lagi-lagi getaran ponselnya membuatnya mengurungkan. Ada notif pesan dari Farid. Bela merogoh tas slempangnya dan membuka notif itu.

From. Mas Farid
Assalamualaikum Dek, lagi sibuk ya? Susah banget di telpon.

From. Mas Farid
Kalau sudah senggang balas pesan Mas ya? Biar nanti Mas telpon. Bapak ama ibu juga pengin ngobrol ma kamu.

Jika sudah beralasan oeang tuanya ingin ngobrol tak ada alasan untuk Bela menolak. Setidaknya ini sebagai bentuk rasa hormatnya pada orang tua Farid. Lagi pula tak enak jika terus-terusan menghindar.

Balas
Walaikusalam, maaf Mas tadi lagi ada kelas. Iya ini saya sudah senggang mau pulang dulu.

Bela bergegas memasukkan ponselnya lalu menyandangkan di pundaknya. Segera ia berdiri tanpa sadar ada Liza yang memandangnya heran.
"Mau keman Bel?" tanya Liza heran dengan gerak-gerik sahabatnya itu.
"Aku harus pulang Liz, umi mau ngajak aku ke pengajian." ucap Bela memberi alasan.

Tanpa menunggu respon balik Liza Bela melangkahkan kakinya setelah berucap salam.
"Bel, bukunya!!!!" ucap Liza sedikit berteriak. Namun sama sekali tak didengar oleh Bela yang terus melangkah tergesa-gesa meninggalkan kampus. Sampai di depan kampus tangannya melambai untuk memberhentikan taksi. Diam-diam tanpa ia sadari sepasang mata mengamatinya dari dalam mobil.
"Alhamdulillah kamu baik-baik saja dan tetap menjadi gadis yang hanya dengan melihatmupun hatiku menghangat."

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang