(VII) Penyesalan

5.6K 240 3
                                    

Bela memberikan mukena yang selalu ia bawa untuk menutupi tubuh Liza karena bajunya telah terkoyak. Wanita itu terus mendekap erat tubuh Bela dan terus-terusan menangis. Harga dirinya telah hancur Bian berusaha merenggut mahkotanya. Walaupun belum sempat itu terjadi karena saat Bian berusaha memperkosanya, pria itu harus menerima telpon penting entah dari siapa.

"Aku malu Bel,,aku kotor,,aku pendosa..." racau Liza dipelukan Bela.

Kini mereka sudah di dalam taksi menuju perjalanan pulang. Dan untuk Bian pria itu digiring warga ke kantor polisi untuk diproses.

"Ssssttttt....Liza gak boleh bilang seperti itu, istighfar Liz." ucap Bela menenangkan.

Sementara itu Ali yang duduk di sebelah sopir memejamkan matanya rapat menahan gejolak emosi yang siap meledak. Hatinya sakit melihat kondisi adiknya dan juga.....entahlah dia juga merasa teriris  saat melihat Bela disentuh oleh bajingan yang bernama Bian. Bukan disentuh dalam artian bersentuhan kulit,lebih tepatnya disekap.

"Kak..Liza gak mau pulang.." ucap Liza mengembalikan kesadaran Ali.

Belum sempat Ali menanggapi maksud sang adik, Liza kembali berbicara dengan Bela setelah  mengendurkan pelukannya dan beralih menatap Bela.

"Bey...apa boleh aku nginep dirumah kamu?cuma sementara kok,aku belum bisa pulang kerumah."

"Tapi Dek kenapa gak pulang?bukankah sebaiknya kamu istirahat di rumah." ucap Ali menyela pembicaraan Liza dengan Bela.
Liza menggeleng sebagai jawaban.
"Liza butuh teman kak, Liza butuh Bela."

"Tapi kamu punya kakak dek, jadi kamu gak perlu lakukan itu." ucap Ali protes atas jalan pikiran adiknya.
"Liza gak butuh sekedar teman kak, Liza mau belajar, Liza mau belajar dengan Bela. Dan itu tak Liza dapatkan dirumah."

"Liza mau mengenal agama Liza lebih dalam. Liza malu Kak begitu banyak kenikmatan yang Liza dapatkan tapi Liza acuh pada Sang pemberi nikmat." ucap Liza sambil berlinang air mata.

"Mungkin yang Liza alami ini bentuk teguran dari Allah untuk Liza."

Ali diam tak tau harus bicara apa lagi karena sejatinya ucapan adiknya itu benar-benar telah menampar nuraninya.

Bela yang dari tadi menyimak perdebatan adik kakak itu akhirnya tersenyum. Lalu mengusap pelan lengan Liza.
"Liza boleh kok nginep dirumahku,semau Liza, aku senang Liza bisa ambil hikmah dari semua ini. Dan pastinya dengan senang hati aku mau membantu Liza dengan sedikit ilmu yang aku punya." ucap Bela dengan senyum tulus terpatri diwajahnya.

Setelah menempuh perjalanan yang menguras tenaga dan emosi akhirnya taxi itu berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Bagaimana tidak menguras tenaga dan emosi? Smua tangis,senyum,dan rasa ketakutan sempat mencengkeram hati ketiganya.

Bela bergerak akan membuka pintu penumpang saat Ali menghentikan gerakan tangannya.
"Tunggu."
"Emmm...biar gue yang jelasin ke bokap nyokap lo tentang apa yang terjadi." ucap Ali dengan sedikit menekan egonya.

"Tidak usah biar aku yang jelasin ke abi dan umi." tolak Bela secara halus.

"Dengan kondisi lo yang kaya gini?gue buka pecundang yang akan kabur saat bertemu calon mertua galak."
Kening Bela mengernyit saat mendengar ucapan Ali.
"Maaf???" tanya Bela yang tak mengerti maksud ucapan Ali.
Seakan sadar atas apa yang dia ucapkan Ali segera mungkin membuka pintu taxi dan melompat turun. Jantungnya berdentam kencang dan hatinya komat kamit merutuki kebodohannya.

Ali membukakan pintu penumpang untuk Liza dan kemudian disusul Bela. Abi Amir yang baru pulang dari mushola seusai sholat maghrib merasa heran dengan apa yang terlihat didepan rumahnya. Putrinya pulang dengan seorang gadis dengan kondisi yang lemah dan mengenakan mukena. Tak cukup itu saja yang lebih mengagetkan adalah seorang pria dengan tampang begajulan,jeans robek dan jaket kulit berdampingan membantu gadis bermukena itu berjalan tertatih.
"Mi.....Umi....." ucap Abi Amir memanggil istrinya.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang