(XXXXVI) Ijinkan

4.3K 192 19
                                    

Ali nekad pulang saat tau Bela menelponnya dan Yosi yang mengangkatnya saat dia berada di toilet. Tak ingin istri tercintanya salah paham maka apapun yang terjadi ia nekat pulang. Walaupun Yosi masih saja kukuh  mencegahnya.

Dengan perlahan Ali memutar knop pintu kamarnya. Mencoba mencegah adanya suara yang akan mengganggu kenyamanan tidur istrinya. Langkahnya maju perlahan mendekati ranjang dimana istri dan putri tercintanya terbaring lelap. Ali merasakan dadanya begitu sesak saat melihat sisa-sisa air mata yang belum mengering sepenuhnya pada wajah Bela. Ini menandakan jarak antara tangis dan kedatangannya tak begitu lama. Dengan posisi berjongkok di sebelah tubuh istrinya tangan Ali terulur menyentuh  sisa-sisa air mata istrinya. Ia merasa menjadi suami yang kejam saat sadar dirinyalah penyebab istrinya menangis.

"Sayang,,,maafkan aku." lirih Ali sambil mencium punggung tangan istrinya. Lalu  tangannya kembali terulur menyentuh perut rata istrinya.

"Hai...Baby sayang,,,maafkan Abi Nak. Abi jahat bahkan menyapamu saja baru sempat padahal kaulah yang Abi tunggu bertahun-tahun."

Tanpa terasa Ali terisak meratapi kesalahannya. Dan lagi ia mengelus pipi gembil Kiran yang meringkuk disebelah Bela.

"Maafkan Papa juga sayang." ucap Ali pada Kiran.

Bela mengerjapkan matanya saat mendengar suara isakan. Ia edarkan pandangannya pada setiap penjuru ruangan. Kemudian ia sadar jika ada sosok yang ia rindukan sedang berlutut di sampingnya dengan bahu bergetar.

"Mas...." ucap Bela lirih. Tangannya membelai pundak suaminya.

Ali mendongakkan kepalanya saat mendengar suara lembut Bela. Wajahnya yang bersimbah air mata segera ia usap.

"Maaf Mas membangunkanmu." ucap Ali dengan cepat membantu Bela untuk bersandar di kepala ranjang.

"Mas sudah pulang? Mau makan? Biar aku siapin dulu."

"Stttt....jangan kemana-mana."

Sejenak pandangan mereka bertemu. Bela mengambil tangan Ali lalu meletakkannya di atas perutnya.

"Mas...dia hadir,,,di...dia ada di sini...doa kita terjawab Mas." ucap Bela ditengah isak tangisnya.

Ali hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata, suaranya seolah tertelan oleh sesak dalam dadanya. Bukan karena tak bahagia, sungguh dia sangat bahagia karena hal yang selama ini ia tunggu-tunggu akan segera hadir, namun kelalaiannya saat inilah yang menimbulkan kesedihan yang luar biasa.

Tangannya terus mengusap lembut perut Bela sambil terus terisak dalam doa yang terus menerus ia panjatkan untuk calon bayi yang ada di perut Bela. Malam ini mereka habiskan dalam suasana haru sekaligus bahagia. Rasa rindu begitu membuncah dalam hati keduanya seolah terpisah dalam kurun waktu yang lama.

Tak ada pembahasan lain setelah malam itu. Belapun memilih diam seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dan tentu saja hal ini yang membuat Ali benar-benar didera rasa bersalah. Ali sendiri bingung mau memulai penjelasan dari mana. Melihat istrinya yang begitu manis dengan senyum tak lepas dari wajahnya membuat Ali mengurungkan niatnya membuka pembahasan soal itu.

"Kopinya Mas."

Bela membawakan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng untuk Ali yang sedang membaca buku di teras rumah. Mereka sepakat libur hari ini untuk menghabiskan waktu di rumah. Sedangkan Kiran tentu saja berada di rumah orang tua Bela. Putri kecil mereka itu selalu merengek minta ke rumah nenek Aisyah jika sedang libur seperti ini.

"Duduk sini sayang, temani Mas dan jangan kemana-mana."

Bela tersenyum lalu menuruti keinginan suaminya. Pandangan matanya tak pernah lepas dari wajah tampan suaminya. Ia duduk dengan sedikit menyamping agar bisa mengamati setiap lekuk wajah suaminya.

"Mas...."

"Hmmm..." gumam Ali.

"Seberapa besar rasa cinta Mas padaku?"

Ali terkekeh mendengar pertanyaan Bela yang tanpa dijawabpun harusnya Bela tau bagaimana jawabannya. Namun untuk melegakan hati istrinya Alipun mencoba menjawab, lagi pula ini moment pas untuk Ali kembali meyakinkan istrinya setelah kejadian malam itu. Ali menutup buku yang ia baca, dan melepas kacamata yang sedari tadi bertengger manis di hidungnya.

"Tanpa mas jawabpun harusnya kamu tau seberapa besar rasa cinta Mas kepadamu sayang. Bahkan dalam setiap doa Mas selalu memohon agar kita tetap berjodoh diakhirat kelak."

Bela tersenyum mendengar penuturan dari suaminya. Bahkan iapun sempat berpikir itu adalah pertanyaan konyol karena dalam hatinyapun meyakini betapa suaminya itu selalu menjaga rasa cinta untuknya.

"Mas, apa mungkin suatu saat cinta itu akan terbagi?"

Sejenak Ali menatap wajah Bela setelah mendengar pertanyaan istrinya lagi. Kemudian tawanya meledak melihat wajah menggemaskan Bela saat berubah serius.

"Sayang, nanti kalau kesayangan kita ini lahir pasti akan terbagi, bahkan sekarangpun sudah terbagi dengan adanya Kiran, tapi percayalah insyaAllah cuma kamu bidadari untuk Mas." ucap Ali sambil mengelus perut istrinya.

"Kamu,anak-anak kita dan keluarga kita memiliki tempat masing-masing di hati Mas." lanjut Ali.

"Bukan itu yang aku maksud." ucap Bela lirih.

Nampak raut kebingungan diwajah Ali.
"Lantas?"

"Mas, ijinkan aku berbagi kebahagiaan dengan saudari muslim."

Ali diam mencoba mencerna maksud istrinya.

"Mas, bisakah berbagi hati dengan Yosi? Dia telah berhijrah dan dia butuh bimbingan untuk tetap istiqomah."







Akhirnya.....bisa update juga. Semoga masih setia dengan lika-liku cerita ini. Ditunggu vote dan komennya biar  aku tambah semangat ngetiknya.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang