(XXVIII) Rindu

4.7K 193 22
                                    

Bela termenung setelah apa yang dikatakan Nisa saat sesi makan malam tadi. Abinya meminta kakak iparnya untuk mengenalkannya dengan salah satu teman pengajar di pesantren. Apa yang harus ia lakukan disisi lain ia tak ingin menyakiti hati abinya namun sisi lain hatinya sedang ingin menunggu seseorang datang padanya.

Pikirannya kembali melayang pada kejadian pertemuannya terakhir di lorong rumah sakit yang iapun sama sekali tak ingin menatapnya. Dan diperparah lagi keputusannya untuk tak berkomunikasi lagi membuatnya ragu dan bimbang.
"Jangan dipikirkan Bey, tai coba jalani. Tak ada salahnya kamu terima niat abi mengenalkanmu pada teman Kak Sholeh." ucap Nisa lembut.
"Tapi Kak..."
Ucapan Bela terpotong oleh Nisa.
"Taaruf Bey, pengenalan,jika saling cocok bisa lanjut namun jika tidak kamu berhak berhenti."

***

Waktu bergulir begitu cepat tak terasa sudah satu tahun Ali berada di pesantren. Hafalannya semakin bagus dan usaha yang dibangunnya semakin lancar. Sungguh semua kemudahan ini atas ijin Allah. Ternyata begitu nikmat yang ia rasakan jika dekat dengan Allah. Tak ada lagi gundah gulana, keresahan hidup dan semua terasa ringan untuk dijalani.

Ali sedang berada di masjid dengan mushaf kecil yang bisa ia bawa kemana-mana. Tangannya membuka-buka halaman mencari surat Ar-Rahman yang harus secepatnya ia hafalkan. Tanpa sengaja sebuah foto terjatuh dari selipan mushaf itu. Ali mengambilnya. Sebuah foto seorang gadis berhijab pink nampak cantik terlihat dari samping.

 Sebuah foto seorang gadis berhijab pink nampak cantik terlihat dari samping

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada seklumit rasa rindu hinggap di hati Ali. Rindu pada gadis yang ingin ia segera halalkan. Namun sayang, masih jauh dari kata pantas untuk mendapat gadis itu.
"Siapa Li?"
Ali tersentak kaget saat melihat ustadz Farid telah duduk di sampingnya.

Dengan terburu-buru Ali mengantongi foto itu.
"Ustadz, sudah datang?" tanya Ali menutupi gugup yang menderanya.
"Kamu rindu ya sampai tak melihat saya datang?"
Ali tersenyum dengan wajah menunduk menahan malu.
"Halalkan Li, kamu sudah siap untuk itu." ujar ustadz Farid sambil menepuk pundak Ali.

Hanya senyum yang bisa Ali tunjukkan sebagai responnya. Karena ia pun tak tau apa yang harus ia ucapkan saat ini. Bukan ali tak mau menghalalkan justru dari awal Ali ingin sekali menghalalkan namun apa daya restu tak di kantonginya.
"Kamu sudah punya penghasilan dan saya yakin kamu mampu menjadi imam yang baik jadi lebih baik segerakan." lanjut ustadz Farid menasehati.
"Saya sedang memantaskan diri ustadz dan saya sedang memohon pada Allah agar saya dipermudah untuk menghalalkannya." jawab Ali kemudian.

Ustafz Farid memandang takjub pada kerendahan hati Ali. Dari awal Ali memang terlihat sangat santun dan berpotensi menjadi kepala rumah tangga yang baik. Bahkan sempat ustadz Farid berkeinginan menjodohkan Ali dengan adiknya. Namun melihat kejadian ini ustadz Farid pun mengurungkan niatnya.
"Saya doakan semoga disegerakan dan dimudahkan langkahmu untuk menghalalkannya. Amiin."
"Amiin." jawab Ali bersamaan.

Drtttt....drtttt....
Getaran dari ponsel Ali memutuskan pembicaraan mereka sementara. Ada tertera nama Liza di layar ponselnya. Dengan sopan Ali berpamitan untuk menerima telpon dari adiknya.
"Permisi ustadz, saya terima telpon dari adik saya sebentar."
Ustadz Farid mengangguk kemudian Ali sedikit menjauh.
"Assalamualaikum.. Dek..."

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang