Keputusan

885 69 7
                                    

"Hari ini aku mengingatmu sebagai kekasih hatiku. Namun jika aku dalam sekejap telah melupakanmu. Maafkan aku."

2 tahun berlalu begitu cepat, hubungan Ren dan Joo telah sampai sejauh ini. Ujian Nasional telah menunggu Joo, untuk beberapa minggu lagi gadis itu akan lepas dari predikat sebagai anak SMA. Gadis itu sedang bergelut dengan materi-materi pelajaran yang semakin membuatnya semangat untuk mengejar cita-citanya. Dan untuk sementara waktu Joo dan Ren sepakat untuk tidak bertemu dahulu sebelum Joo menyeselaikan sekolahnya.

Ren bangun dari tidur panjangnya. Ia mengusap perlahan kedua matanya. Ia merasakan pusing pada kepalanya, lelaki itu mencoba mengumpulkan tenaganya untuk bangun. Namun sia-sia saja, rasa pusingnya semakin menjadi-jadi. Ia tak bisa mengingat sesuatu apapun, ia semakin menjadi gila ketika ia mencoba untuk mengingat, namun tak ada pikiran apapun yang melintas dalam benaknya.

Ia memejamkan kedua matanya berkali-kali, mencoba mengingat namun tak bisa. Lelaki itu semakin gusar, ia berteriak sekencang-kencangnya. Ia sangat-sangat frustasi dengan keadaannya sekarang. Ia mengusap kasar bagian belakang kepalanya, berharap daya ingatnya kembali lagi. Ia mencoba mengatur perlahan-lahan nafas dan detak jantungnya, menenangkan pikirannya.

"Gue nggak berharap ini semua terjadi! Please jangan sekarang.."

Bayangan Joo tiba-tiba melintas dalam benaknya, lelaki itu bernafas lega. Meski tidak semua ingatannya kembali, setidaknya ada beberapa hal yang masih ada dalam memory nya. Ia tersenyum lega, beberapa kejadian kemaren dapat ia ingat lagi. Ia berjalan gontai menuju dapur, lelaki itu mengambil botol minum dalam kulkasnya dan menenggaknya sekaligus. Rasa hausnya tak terhankan lagi. Bahkan keringat dalam tubuhnya telah membanjiri kaos oblongnya. Segera ia membersihkan dirinya. Setelahnya, ia menelpon Dokter Oscar untuk berkonsultasi masalah penyakitnya.

"Hari ini gue ngalami itu lagi. Tiba-tiba semua ingatan gue lenyap begitu aja. Seakan nggak ada yang tersisa lagi."

"Lalu?"

Ren menatap Dokter Oscar, ekspresi orang yang ada dihadapannya ini seakan sedang membaca pikirannya. Lelaki itu menunduk, matanya menatap kedua kakinya yang semakin gusar. Dokter Oscar menghela nafas panjang, ia mengerti apa yang dipikirkan oleh pasiennya yang sangat sulit untuk diberikan nasihat.

"Jadi, sekarang menyesal? Atau masih sulit untuk menerima saran dari orang lain?"

"Gue nggak bisa putuskan sekarang, untuk operasi yang bakalan merubah seluruh hidup gue nanti."

"Seandainya operasinya berhasil? Bukannya nanti kamu juga yang akan senang? Coba pikirkan seluruh keluarga yang telah lama mendampingimu hingga saat ini, kamu berada dihadapan saya. Coba pikirkan itu, mereka telah memberikan yang terbaik untuk kesembuhanmu, dan jika kamu yakin dengan saya maka saya akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan kamu. Tapi, saya lihat tidak ada keyakinan sedikitpun dalam dirimu untuk mempercayai saya sebagai doktermu."

Ren terdiam seribu bahasa, ia mencoba mencerna perkataan Dokter Oscar. Ia terpacu dengan kata keluarga, benar juga keluarganya yang selama ini telah memberikan yang terbaik untuk kesembuhan Ren. Relyn. Kakak perempuannya adalah keluarga satu-satunya yang ia punya. Jika tidak ada Relyn, entah apa yang akan terjadi pada Ren. Mungkin ia tidak akan berada disini sampai detik ini.

"Jangan terlalu lama, pikirkan baik-baik. Ketika penyakit itu mulai nyebar, ingat resikonya. Mungkin akan lebih parah dari apa yang kamu alami sekarang."

Ren menggigit bibir bagian dalamnya. Jempol kanannya menggaruk jempol kirinya hingga lapisan kukunya sedikit demi sedikit mengelupas. Perlahan ia menganggukkan kepalanya tanpa berbicara sepatah katapun. Dokter Oscar hanya menghela nafas panjang, ia memutar bola matanya.

"Terima kasih, untuk hari ini dok. Bakalan gue pikirin lagi. Permisi."

Ren keluar dari ruangan Dokter Oscar, ia menuju mobilnya. Ia menghempaskan tubuhnya dan duduk dalam mobilnya. Tak terasa air matanya jatuh, lelaki itu menangis. Ia mengusap air mata yang semakin deras mengalir dikedua pipinya. Setelah tenang, ia mengemudikan mobilnya entah kemana hatinya akan membawanya. Tak ada tujuan yang akan ia tuju, kalau ia ke rumah Relyn pasti tidak akan ada orang disana. Karena Relyn dan suaminya sedang melaksanakan bulan madu diluar kota. Sedangkan Joo? Mereka telah bersepakat untuk tidak bertemu dahulu.

Dan pada akhirnya mobilnya menuju komplek pemakaman. Ia segera turun dari mobilnya dan menuju makam mamanya. Ia melihat bunga yang ia berikan beberapa minggu lalu telah layu. Bahkan rumput-rumput kecil telah tumbuh menghiasi makam Medina. Ren mengusap batu nisan Medina yang kotor oleh debu dan air hujan.

"Hai mama, Ren dateng lagi. Anak mama yang paling ganteng. Tapi maaf ya ma, Ren nggak bawa bunga mawar kesukaan mama. Hari ini Ren konsultasi lagi sama Dokter Oscar, itu loh ma dokter Ren yang paling nyebelin yang nggak bisa ngertiin perasaan Ren. Tapi dia selalu benar ma, dia orang yang bisa bikin semangat Ren naik. Kata dia, Ren harus operasi ma. Dalam otak Ren lagi bermasalah, Ren nggak ngerti lagi harus berbuat apa. Jujur, Ren takut ma, Ren takut kalau Ren nanti nggak bisa bangun lagi setelah operasi dan nggak ingat apa-apa lagi. Tapi Ren mau ngeyakinin diri Ren untuk bisa terima kalau emang jalan terbaiknya harus operasi, Ren bakalan operasi. Oh ya ma, Ren lagi galau ma, Ren harus pisah dulu dari Joo. Soalnya dia lagi persiapan buat ujian dan Ren nggak mau ganggu dia dulu. Ren nggak tau harus cerita ini kemana lagi ma, seandainya aja mama bisa respon semua curhatan Ren, pasti Ren bakalan seneng banget. Apalagi saat-saat seperti ini, Ren butuh banget pelukan mama. Yang bisa nguatin Ren, tapi Ren nggak akan sedih terlalu lama. Ren harus kuat kan ma? Iya Ren bakalan kuat sebisa mungkin untuk terima keadaan Ren sekarang. Mama, Ren pamit pulang dulu ya? Ren sayang banget sama mama."

Ren berjalan gontai meninggalkan makam Medina. Ia mengusap kedua pipinya yang telah banjir oleh air mata. Ia mencoba tersenyum, namun air matanya tak tertahankan. Air matanya terus saja mengalir dikedua pipinya seberapa kali ia mengusap namun tetap saja pipinya basah.

"Gue sedih. Bener-bener sedih, hati gue hancur. Gue nggak tau lagi harus kemana. Temen-temen gue? Mereka pasti sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing."

Mobilnya telah memasuki gerbang rumahnya. Namun ada yang janggal, bagaimana bisa pintu gerbang yang telah ia kunci bisa-bisa terbuka dan ada mobil entah milik siapa terparkir cantik didepan pintu rumahnya. Ia segera memarkirkan mobilnya dalam garasi dan keluar melihat siapakah gerangan pemilik mobil tersebut.

"Hai Ren!"

Mata Ren terbelalak. Wajah sumringah terlihat pada wajah seseorang yang ada dihadapan Ren saat ini. Senyum indah tersungging disudut bibirnya, gadis itu tersenyum dengan ceria khasnya. Seketika ia telah berada dipelukan Ren, gadis itu memeluknya erat sangat erat. Melepas rindu yang telah lama terpendam.

"Lama kita nggak bertemu. Kangen."

Ren masih terdiam. Ia tak bisa mengucap sepatah katapun, ia mengamati gadis itu. Ia tak percaya dengan penglihatannya. Sesekali ia mengedipkan kedua matanya, meyakinkan dirinya bahwa itu bukanlah mimpi.

"Gue nggak lagi halusinasi kan? Serius dia disini? Cinta pertama gue!"


To be continued...

Our - Don't Forget Me (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang