Coriza Dinda

28 0 0
                                    

Namanya Coriza Dinda, 26 tahun umurnya. Sore ini Cori berdandan, tidak terlalu tebal seperti biasa saat Cori akan keluar jalan-jalan. Cori hanya memakai make up seperlunya, tidak ingin terlalu mencolok. Tidak perlu, mungkin untuk saat ini. Dia hanya akan bertemu Raka, teman satu tempat kursusnya dulu di sebuah cafe kecil di pinggiran kota. Cafe tempat mereka bertiga dulu sering ketemu setiap akhir minggu. Bertiga, ya bertiga. Cori dengan mantannya, dan Raka sendirian.

"Hai Raka, udah lama?", sapa Cori ke seseorang dengan jaket bola yang berwarna merah di pojok cafe.

"Hai, aku kira kamu ga jadi datang. Macet dijalan?", jawab Raka sambil melempar senyumnya.

"Macet sih, biasa weekend. Jalanan sini mana ada yang ga macet kalo weekend begini. Biasa lah banyak yang pacaran. Eh, udah pesen?", kata Cori.

"Kamu ga pacaran juga?", kata Raka menggoda Cori.

Dan tawa pun pecah diantara mereka.

"Masih tetep kangen Anton? Gimana kabar dia?" tanya Raka sambil mulai menulis pesannannya.

"Kenapa tanya gitu? Udah lama aku ga denger kabar soal dia. Ya terakhir denger kabar sih cuma sampai beberapa bulan setelah putus itu aja sih. Mungkin ya masih sama pacar barunya itu. Eh, aku pesen kaya biasanya ya. Masih inget kan?", kata Cori.

"Masih lah. Kapan aku pernah lupa sama kamu", jawab Raka sambil tersenyum.

Deg! kata itu. Senyum itu. Ada sesuatu yang semakin ingin Cori buktikan dari semua pikirannya selama ini.

Setelah hampir setahun mereka tidak bertemu, Raka tiba-tiba menghubunginya. Mereka mengobrol dengan bebas, tidak seperti dulu. Ada yang berubah. Entah, Cori tidak tahu. Ada hal yang datang lagi di hatinya. Tidak, bukan cinta. Tapi berasa hangat. Sesuatu yang sudah lama hilang dari hari-harinya. Raka begitu nyaman untuknya.

"Setelah sekian lama kamu tiba-tiba hilang, kenapa baru sekarang muncul lagi? Aku kira kamu udah ga pengen ketemu aku", kata Cori.

"Kangen ya? emang gitu sih biasanya. Kalo ga ada dikangenin, tapi kalo ada ga pernah diliat sama sekali", jawab Raka sambil sedikit tertawa.

"Heh, aku serius. Kamu bercanda terus", kata Cori dengan memasang wajah ngambek.

"Kangen sih udah dari dulu, sampe sekarang sih. Tapi dulu kan ga boleh, kalo sekarang mungkin sudah boleh", jawab Raka dengan senyum tipisnya.

"Kamu ini daritadi gombal-gombal aja. Jomblo jangan digombalin, nanti baper", kata Cori sekenanya. Dan tawa kembali hadir diantara mereka, semakin lepas tanpa ada beban.

Tak berapa lama pesanan mereka datang, pesanan yang masih sama seperti dulu ketika mereka sering ketemu dan ngobrol tiap weekend disitu.

"Kamu ga pengen pacaran lagi Cori? Betah amat jomblo sejak putus dari Anton. Move on dong, kasian yang antri banyak lho", tanya Raka sambil mulai menyruput secangkir wedang jahe hangat dari cangkirnya.

"Move on udah, tapi emang masih belum niat pacaran. Banyak pertimbangan. Banyak ketakutan. Takut gagal lagi kaya kemarin", jawab Cori sambil mulai meminum latte kesukaannya.

"Sampai kapan? Apa kamu ga capek menutup diri? Kadang hati memang berat melupakan daripada memulai baru, tapi kadang suatu hal yang baik harus diperjuangin melewati banyak hal buruk", kata Raka dengan senyum manisnya.

"Ya sampai nanti, aku menunggu seseorang yang mau menemukanku", jawab Cori.

"Bagaimana mungkin seseorang bisa menemukanmu di masa ini dan membawamu ke masa depan, jika kamu sendiri ada di satu masa dibelakangnya. Ada di masa lalu. Dia hanya akan mengulurkan tangan, membantumu berjalan. Tapi kamu tidak akan kemana-mana jika kamu tidak menyambut tangan itu dan melangkah. Waktu paling jauh itu masa lalu. Sekuat apapun kamu mengejar, kamu tidak akan mencapainya", kata Raka dengan wajah serius.

"Ya, mungkin seperti itu. Ada lubang yang tak bisa aku lengkapi lagi. Apa adil jika aku memberikan hatiku yang terkoyak pada seseorang yang memberikan hatinya penuh dan baik kepadaku?", tanya Cori.

"Tidak. Tapi apa kamu mau menerima hati yang terkoyak, rusak, dan tidak sepenuhnya untuk menemanimu dan menghabiskan waktu bersama?", tanya Raka kembali.

"Tidak. Tapi dia harusnya bisa memperbaiki diri nanti saat bersama", jawab Cori.

"Sama seperti itu. Kenapa kamu takut akan hal yang belum terjadi? Kalo dia bisa menerima kekuranganmu dan kamu berniat, dan memang akan memperbaikinya, seharusnya semua akan baik-baik saja dan lebih baik", kata Raka.

"Terima kasih Raka, kamu memang baik. Seorang teman yang baik", kata Cori dengan senyuman manisnya.

"Ya, aku memang hanya akan menjadi temanmu yang baik", kata Raka.

"Kadang bahagia itu kita yang memutuskan kapan, bagaimana, dan seperti apa. Bukan orang lain. Sesederhana itu", lanjut Raka dengan senyum manis dan hangat.

Sehangat wedang jahe di sore gerimis berbalut senja. Sehangat pertemanan mereka. Yang mungkin hanya akan tetap menjadi teman. Berdua. Tanpa ada sisipan hati yang terajut diantara mereka.

Jangan bersedih, tersenyumlah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang