: Bagian satu :

508 60 15
                                    

Dari kabur lagi.

Diva kembali menatap kumpulan soal fisika di atas mejanya, beberapa dilingkari pena merah dan sisanya dibiarkan kosong begitu saja. Ada empat siswa lain di dalam kelas yang sama, sengaja didudukkan dalam meja yang terpisah agar tak ada aksi saling menyontek satu sama lain.

Guru pembina olimpiade mereka berjalan menyusuri kelas, mulai dari kursi paling belakang dan berakhir pada kursi Diva di paling depan. Tangan yang ia lipat di depan dada menandakan bahwa adanya keseriusan di dalam kepalanya—membuat anak-anak olim memasukan nama guru mereka dalam list 'mode senggol bacok.'

"Va, Dari kemana lagi?" tanya sang pembina saat raganya berpapasan dengan meja Diva di depan.

Gadis itu menggeleng sembari bersuara pelan. "Gak tau," jawabnya singkat tanpa penjelasan.

Guru pembina olimpiade mengangguk dan lanjut berjalan pelan menyusuri seisi kelas. Ia tak tahu, Diva menyimpan rahasia di dalam buku catatannya. Tepat pada sticky note kuning yang tertempel di sampul dan tulisan tangan dari kawan karibnya:

Kalau ada yang nanya, bilang aja,
"gak tau."

Dari

: : : 0 : : :

Suara motor yang menderu pada jalanan sepi tak membuat beberapa anak-anak di sekitar sana menghentikan aktivitasnya. Bola sederhana dari koran-koran bekas yang dikumpulkan menjadi satu masih menjadi atensi paling menarik di sana.

Salah satu remaja kampung menyipitkan matanya, menatap Dari yang kini telah memarkirkan motornya pada pinggir jalan setapak lapangan bola. Senyum si pemuda kampung tercipta. "Mbak!" serunya.

Dari tersenyum lebar dengan tangan yang ia lambaikan ke udara. Raganya berjalan tanpa ragu menuju si pemuda kampung yang memang menjadi tujuan utamanya kabur dari kelas olim. Gadis itu tertawa. "Apa kabar, Gembel?"

Si pemuda kampung tersenyum manis, satu pelukan ia dapatkan dari si gadis kota, Sundari. "Mbak udah lama gak ke sini, sibuk banget, ya?" tanya si pemuda kampung mengawali percakapan.

Dari terkekeh. "Lo tau kalau gue dipaksa ikut olim sana-sini. Nih kepala bakal pecah kalau gini terus."

Di tengah obrolan, sebuah bola kertas koran menggelinding tepat di samping kaki Dari. Gadis itu menatapnya sekilas sebelum atensinya mengarah pada sekumpulan anak-anak di lapangan tadi. "Oper!" seru mereka bersemangat.

Dari mengikuti arahan dengan menendangnya sekuat tenaga. Beberapa anak mencoba menerima operan dari si gadis kota, sedangkan gadis itu sendiri masih tersenyum santai sembari menatapnya.

"Bola baru?" tanya Dari.

Si pria kampung mengangguk. "Baru dibuat tadi pagi, Mbak," tuturnya.

Dari paham, teman-teman yang sehari-hari bekerja sebagai pengumpul sampah tak pernah memiliki kesempatan untuk barang kali membeli bola plastik seharga lima ribu rupiah di warung. Dari pun paham, tak setiap hari kesempatan emas itu datang—jam bermain dengan bola sungguhan.

Atensinya beralih pada pria asing yang duduk di sekitar perpustakaan singgah, tepat pada kontrakan kecil milik si pria kampung yang dijadikan sebagai tempat belajar anak-anak pengumpul sampah sepertinya. Tetapi pria asing itu berbeda, Dari melihatnya sebagai anak rumahan dengan kemeja yang dikancing hingga kerah. Rambutnya pun rapi serta sandal yang Dari tahu harganya mencapai ratusan ribu rupiah.

Ia penasaran. "Temen lo, Mbel?" tanyanya sembari melirik si pria asing.

Si pria kampung—atau Dari biasa memanggilnya Gembel—mengangguk. Tangan Dari ditarik untuk mendekati pria asing itu, senyum si pria kampung terlukis jelas. Ia berujar ramah. "Kenalin, Mbak, namanya Yudhis." Ujarnya.

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang