Awannya sembilu, entah kenapa akhir-akhir ini seperti sulit diprediksi. Seperti tengah jatuh cinta saat pagi, lalu patah hati saat sore. Namun, saat malam kembali membisu.
Tidak ada Sundari dan Indira di sana. Diva melengos ke arah jendela kelas, isi kepalanya penuh dengan soal-soal pelatihan olimpiade sekaligus kumpulan try out tahun-tahun lalu yang harus dikumpulkan tepat waktu di tempat les.
Kia, satu-satunya gadis yang ada di kelas untuk menemani Diva mulai merasa bosan. "Mau aku bantu?" tanya Kia saat melihat Diva nampak lelah.
Gadis itu menggeleng kecil lalu kembali menatap kumpulan soalnya. Adzkia sudah menebaknya, ia hafal luar dalam tentang Diva dan isi kepalanya. Tak sehari dua hari mereka berteman.
Adalah Diva yang ingin berusaha sendiri. Satu-satunya gadis di dalam pertemanan mereka yang isi kepalanya disibukkan dengan anxiety mengenai masa depan. Mungkin jika diberikan perbandingan, masa depan yang Diva pikirkan melebihi pemikiran Dari mengenai ruang dan waktu kehidupan.
"Kamu gak mau nyoba keluar dari olim aja? Kita udah kelas dua belas, Va." Ujar Kia memberi saran.
Diva menggeleng tanpa menatap Kia sama sekali. "Justru karena kita udah kelas dua belas aku ngejar soal-soal biar bisa masuk univ bagus." Katanya.
Jika Indira dan Dari ada di sana, Diva akan diserang dengan seribu satu alasan kenapa mereka harus menikmati masa muda. Di mata mereka, Diva terlalu dikekang oleh soal-soal harian meskipun atas nama masa depan. Itu berlebihan.
"Kamu ngejar tujuan hidupmu sebagai atlet kan? Sama kayak aku, Ki. Mama mau aku masuk universitas bagus, jadi dokter, masa depan bagus. Pokoknya sama kayak mereka berdua."
Diva menatap Kia dengan dalam lalu melanjutkan penuturannya. "Kalau aku gak ngejar itu dari sekarang, aku bakal gagal. Gak akan bisa memenuhi ekspetasi keluarga. Kamu tau sendiri Kakak pertamaku mau sempro, dia juga ada rencana ngambil S2 di Aussie. Kak Juna juga gencar banget dukung hak-hak rakyat, demo sana-sini, diskusi sama orang pemerintah. Aku apa?"
Kia mengembuskan napasnya dengan berat. Ingin didebat seperti apa pun, Diva akan selalu yakin dengan pendiriannya. Sebagai anak paling terakhir, sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga.
"Anyway, tugas kelompok kita gimana? Sama Aca 'kan?" tanya Kia dengan niat keluar dari percakapan mereka.
Beberapa hari lalu di koridor saat jam pulang sekolah, tepat dua hari setelah absennya Aca dari kelas. Sundari yang tengah memainkan kunci motor di jarinya, Indira dengan janji bermain basketnya, Kia dengan persiapan lombanya, dan Diva yang tentunya akan langsung ke tempat les; tiba-tiba dihampiri Aca dengan terengah-engah.
"Ri, allhamdulilah... aku kira kamu udah pulang. Aku buru-buru habis latihan PASKIB karena takut kita gak ketemu di kelas karena aku dispen." Katanya.
Aca mulai mengatur napasnya, sedangkan empat sekawan yang tadi dihentikan mulai saling menatap. "Pelan-pelan, Ca... jangan buru-buru." Kata Kia mengingatkan.
"Maaf-maaf... kemarin aku tanya sama anak kelas, katanya aku masuk kelompok kalian ya? Itu... tugas matematika." Ujarnya mengingatkan.
Dari mengangguk, begitu pula kawan-kawannya yang ikut menyimak. "Anu, tugasku apa ya?" tanya Aca to the point di ujung perbincangan.
Kini, keempat gadis itu saling menatap. Mereka saling berkomunikasi lewat pandangan mata, sama-sama menyelami isi kepala satu sama lain. Seolah ingin Aca tahu apa yang sedang diperbincangkan, Indira menyenggol lengan Dari untuk memberikan isyarat.
Sundari mengerti, napasnya berhembus pelan. "Hm... sebenarnya tugasnya udah selesai sih, Ca." Katanya tenang.
Jantung Aca berdetak keras—sedikit menyakitkan. "Gini aja, gue kasih file-nya ke lo, nanti lo print dan tinggal dipelajari buat presentasi minggu depan. Gimana?" tanya Dari memberikan pilihan. "Pas presentasi, lo juga bisa jadi notulen."
![](https://img.wattpad.com/cover/134555142-288-k246445.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rancu
Teen Fiction: : : 0 : : : Satu sekolah tau kalau lo gak bakal bisa nembus circle yang isinya: Adzkia. Atlet pencak silat yang hobi banget ngoleksi piagam di rumahnya dan beberapa disimpan dalam lemari kaca sekolah. Otaknya cerdas, analisanya tajam, dia gak pern...