: Bagian Lima :

128 39 3
                                    

Langit tak berduka, hanya saja memang sudah saatnya untuk berubah warna menjadi kelam dan kelabu. Beberapa lampu jalanan menyala, sisanya mati karena sudah tua. Sundari tak mengeluh tentang jalanan yang licin sehabis hujan. Ia bukan tipe gadis yang terobsesi dengan kebersihan. Namun, ban yang belum diganti sejak beberapa bulan atau mungkin tahun ke belakang—Dari sendiri lupa sejak kapan—membuat jalanan yang ia lewati menjadi semakin licin. Memaksanya untuk memacu kendaraannya secara perlahan.

Dulu, gadis itu tak suka dengan kecepatan motor yang lamban. Kini, Sundari lebih sabar atas apa yang ada.

"Sebentar lagi Dari pulang," tutur gadis itu pada ponsel yang ia selipkan pada helm. Suara di seberang sana membalas, "Hati-hati."

Setelah menyadari bahwa keadaan jalan raya tengah sepi, lantas saja Dari menepikan motornya sejenak di bahu jalan. Ia masukan kembali ponsel pintarnya ke dalam saku, lalu kembali mengatur motornya untuk melaju.

Sebelum Dari memacu sepeda motornya, sebuah suara berhasil menginterupsi.

"Mbak Dari?"

Gadis itu sedikit terkejut sembari membuka kaca yang tertutup pada helm miliknya. Melihat pria yang ia kenal, rupanya dibawa untuk tersenyum ramah. "Lah, Gembel? Ngapain jam segini masih keluyuran? Gak takut diculik wewe?"

Fauzan yang disapa akrab dengan nama 'Gembel' oleh Dari tertawa kecil. "Ngambil rongsok, Mbak. Ada microwave bekas katanya di depan." Kata Fauzan sembari menunjuk salah satu rumah bergaya semi modern.

Tahu rumah mana yang dimaksud, Dari kembali bersuara. "Gue anterin, sini naik."

"Eh, Mbak, gak usah... deket kok,"

Jeda yang tercipta setelah penolakan membuat Sundari tersenyum manis. Lalu tak selang waktu lama, gadis itu kembali membuka suaranya. "Naik atau gue tabrak?"

: : : 0 : : :

Motor Dari terhenti sempurna tepat di depan kontrakan. Lapangan di depan sana masih basah dengan beberapa kubangan air. Anak-anak yang melihat Sundari dari dalam Suwung tersenyum dan menyapa begitu saja. Sedangkan Fauzan di jok belakang langsung turun begitu saja dengan microwave bekas di tangannya. "Makasih, Mbak."

Dari ikut tersenyum, "itu mau lo langsung jual atau benerin dulu?" tanyanya penasaran.

Fauzan tersenyum sejenak lalu menjawab tanpa berpikir, "ini udah rusak banget, biaya perawatannya lebih banyak dari biaya jual. Jadi langsung dijual aja nanti. Oh iya, mampir dulu, Mbak." Tawarnya.

Mendengar adzan maghrib yang tak lagi terdengar dan langit yang semakin pekat, lantas saja Dari menggeleng. "Enggak, makasih. Gue mau langsung cabut aja."

Fauzan tak menyerah. "Minum dulu, Mbak. Anak-anak juga ada di dalem."

Mesin motor Dari menyala. Gadis itu kembali menggeleng dengan senyum yang masih belum luntur. "Gue mau langsung ke apotek. Nyokap gue nungguin tadi, Mbel. Sorry, ya."

"Loh, Ibu kenapa, Mbak?"

Gadis yang masih dilayangkan pertanyaan lebih memilih untuk menutup kaca helmnya. "Gak ada apa-apa, duluan, ya!" tutur Dari, tipikal gadis yang hanya ingin pergi dan mengakhiri perbincangan.

Setelah pamit dengan baik, Dari kembali membawa motornya untuk membelah angin kota. Hujan dan malam. Dulu, Dari suka suasana ini. Jalanan dan hawa malam ini membuat Sundari merasa pulang.

Tiba-tiba ia merindukan Farel. Rumah yang kini tak lagi menaunginya.

Kata Farel, Sundari terlampau naif. Gadis yang membenci keramaian, namun tetap tersiksa saat rasa sepi menyetubuhinya dalam diam. Tetapi tak semua opini Farel benar adanya. Karena pada faktanya, Dari mampu mentoleransi hampir semua hal dalam hidupnya. Kecuali satu, kehilangan secara tiba-tiba.

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang