: Bagian Empat :

160 39 7
                                    

Pena yang menggores kertas ulangan itu tak benar-benar mendapatkan atensi untuk beberapa orang di kelas yang sama. Diva hanya fokus dengan soal-soal yang belum terjawab, Kia disibukkan dengan essay yang bahkan ia sendiri ragu tentang kebenarannya. Tak ada yang tahu Dari sedang bersenandung—pun tak peduli. Mungkin satu-satunya gadis yang atensinya terjatuh sempurna pada ulangan kali ini hanya Indira seorang.

Kelas disibukkan dengan apa yang ditugaskan sejak awal—mengisi latihan soal untuk masuk ke perguruan tinggi—seminggu tiga kali. Namun, akan dibahas setiap hari saat pendalaman materi. Try out dan latihan ujian nasional? itu beda lagi.

Dari memutar pandangannya dengan malas. Kertas di hadapannya tak menarik lagi sejak beberapa bulan ke belakang. Gadis itu kehilangan minat dengan seluruh hal dalam hidupnya. Bahkan deru kendaraan di jalan raya atau melukis sendirian di dalam kamarnya.

"Bagi yang sudah selesai, dicek lagi jawabannya." Kata guru biologi yang juga mengambil peran ganda sebagai pengawas ujian.

Dari menghela napasnya. Sudah ke-enam kalinya ia membaca soal beserta jawaban di kertas dengan teliti. Ia hanya ingin keluar dari kelas dan pulang untuk bermain ponsel hingga larut. Dari juga ingin makan mie instan rasa kari.

Pengawas ruangan kembali melirik jam dinding di atas papan tulis kelas. Suaranya kembali mengudara dengan tegas, "Silakan dikumpulkan bagi yang sudah selesai."

Dari menoleh ke arah kawan-kawan karibnya. Diva di depannya, Kia di meja sisi Diva, lalu Indira di belakang Adzkia. Entah karena mereka sudah lama berteman hingga mampu saling bertukar pikiran atau mungkin hanya kebetulan belaka—tak butuh waktu lama untuk mereka berpandang mata. Sundari bertanya menggunakan tatapan mata dengan kedua alis yang terangkat: udah-belum?

Adzkiaa menjadi gadis yang mengangguk paling awal, disusul dengan Diva lalu menunjuk meja guru di depan sana dengan dagunya: ke-sana-gak?

Dari mengangguk: yuk-kumpulin!

Ketiga gadis itu bangkit bersamaan hingga membuat kursi yang mereka duduki bersuara secara serentak. Indira mendongak, wajahnya kusut karena frustasi. Kia menangkap raut wajah kawan karibnya lalu bertanya tanpa suara: udah-belum?

Sayangnya, Indira menggeleng.

: : : 0 : : :

"Gila! Bab yang gue pelajarin gak ada yang keluar sama sekali!" suara Indira hampir menggema di seluruh penjuru kantin. Diva melongo, "Waktu kita nginep di rumah Kia bukannya udah aku kasih tau kisi-kisinya?"

Dari menghela napasnya. "Mana liat, dia latihan basket dari kemaren."

"Terus gak belajar, dong?" tanya Kia sedikit meninggikan nada suaranya.

Dari mengangkat kedua bahunya, "gak tau, paling sistem kebut semalem. Apasih namanya? SKS, ya?"

"Udah deh!" Indria memasang raut wajah kesal, bagaimanapun juga penuturan Dari benar adanya.

Selepas dari rumah Kia, Indira kembali bermain basket. Diajak Dari mengunjungi Suwung, Indira juga main basket. Pulang dari sana pun Indira kembali bermain basket. Jam-jam senggangnya diisi oleh bola berwarna oranye. Andai saja dalam sehari bisa lebih dari 24 jam.

"Nanti kamu ke kontrakan lagi, Ri?" tanya Diva penasaran.

Mendengarnya, Dari menoleh sembari menggeleng santai. "Mau langsung balik." Katanya.

"Tumben, ada acara?" tanya Kia.

Gadis yang ditanya memberi jeda sembari menyesap kuah mie instan rasa kari miliknya. Selepas dahaganya terpenuhi dengan kuah hangat itu, ia kembali berujar. "Hari ini 'kan hari kematian Nyokap kandung gue. Nyokap tiri gue mau ke makam bareng-bareng."

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang