: Bagian Enam Belas :

67 8 4
                                    

Suara deru motor berjenis scrambler terhenti di depan lapangan kontrakan yang menjadi tempat bernaung sekaligus perpustakaan kecil bernama Suwung. Dari melepaskan helm miliknya lalu merapatkan jaket denim berwarna hitam yang memang selalu ia kenakan.

Kata Farel, jaket Dari mengingatkannya pada Bima. Namun, setelah dipikir-pikir, Dari-lah yang lebih sering memakainya dibanding Bima. Bima hanya memakainya jika ia ingin, sedangkan Sundari menjadikan denim sebagai kebutuhan pokok kedua setelah memakai helm kala berkendara.

Sabtu pagi memang cocok dipakai untuk jalan-jalan di sekitar kota. Kebetulan, Sundari memilih Suwung untuk menjadi tujuannya. Namun, Dari lupa jika di kontrakan tak ada lagi anak-anak yang bermain bola atau Farel yang bernyanyi.

Setelah turun dari scrambler, kedua mata gadis itu berkelana mencari satu atau dua orang yang mungkin saja ada di kontrakan. Beruntung, sebuah lambaian tangan dan senyuman hangat menyambut Dari.

"Mbak!" ia berseru.

Setelah memastikan motornya telah dikunci stang dan helm miliknya tak akan terjatuh, Sundari berjalan ke arah kontrakan untuk menyapa Fauzan.

"Sendirian Mbak?" tanyanya untuk membuka obrolan sembari terus menyemir sepatu miliknya.

Sundari menatap Fauzan di teras kontrakan. Ia sadar bahwa kawan lamanya itu terlihat berbeda. Kemeja putih, celana hitam, dan sepatu kulit di sisi kakinya. Dari mengerti, ini adalah hari penting bagi Fauzan.

Gadis itu tertawa. "Iya, jam sepuluh nanti mau ke bengkel. Motornya lagi rewel, sekalian mampir. Anyway, lo mau pergi?"

Senyuman Fauzan terlukis kala mendengar pertanyaan dari Sundari. "Iya, saya ngelamar kerja jadi OB." Katanya.

"Serius lo!?"

Fauzan mengangguk. "Hari ini interview, makanya mau buru-buru."

"Selamat ya! Pasti lo lolos!" Sundari tersenyum di akhir penuturannya.

Setelah Fauzan mengucapkan terimakasih, Sundari kembali membiarkan isi kepalanya melengos ke arah lapangan yang kosong.

Memori demi memori menyeruak. Perasaan familiar terus saja mengganggu pikiran dan jiwanya. Mungkin jika ditanya lebih lanjut bagaimana rasanya, jawaban yang bisa Dari berikan hanyalah hampa.

Seperti angin di dalam penjara kaca atau seperti asa di dalam jiwanya. Mungkin juga seperti lukisan-lukisan yang dahulu ia pajang pada setiap dinding kamarnya. Namun, kini diletakkan begitu saja pada gudang yang tersembunyi di balik tembok-tembok rumahnya.

"Nah, jadi!" Fauzan berseru sembari mengangkat sepatunya ke udara.

"Mbak, potongan rambut saya gimana?"

Dari mengangguk pelan dan mengangkat kedua ibu jarinya. "Ganteng!"

Perasaan Dari kembali berkecamuk. Seperti melihat adegan film di kepalanya, juga dialog acak yang membaur. Hingga di ujung potongan adegan kala senja di dalam kepala, Dari terkekeh kecil menunjukkan eksistensi kegilaannya.

"Kenapa?" tanya Fauzan sembari membagi atensinya.

Dari mengembuskan napasnya. "Barusan gue inget kejadian setahun lalu waktu lo keterima kerja di toko elektronik. Lo lari ke kontrakan sambil senyum, terus teriak, 'saya dapet kerja! saya dapet kerja!' Asli, Sekarang lo lebih rapi dibanding hari itu." Ia mengakhiri penjelasannya dengan senyum simpul.

Fauzan mengingatnya. Hari itu penuh cerita. Saat Farel menjadi orang pertama yang memeluknya, lalu saat Sundari diam-diam menghubungi teman-temannya yang lain untuk datang dan merayakan.

"Mbak sengaja ngehubungin Mas Bima sama anak-anak buat dateng ya? Terus hari itu juga pertama kalinya saya kenalan sama Mbak Diva."

Dari terkekeh pelan. "Tapi gara-gara gue, lo semua jadi baikan."

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang