: Bagian Sembilan :

136 20 21
                                    

Semesta mengenal seorang gadis yang pernah menjadi manusia paling berbahagia di dunia. Kedua matanya coklat, rambutnya jatuh hingga bahu, kulitnya sawo, juga senyumannya lebih manis dari madu.

Ia tak suka belajar. Namun, nilai mata pelajarannya selalu hampir menyentuh angka sempurna. Terlepas dari itu semua, orang tuanya jarang menuntutnya menjadi gadis paling sempurna di dunia.

Suatu masa, ia meredupkan binaran bola matanya. Ia melunturkan senyumannya, "Dari gak mau sekolah di sana!"

Papanya tergelak, "terus kamu mau SMA di mana? Eyang di Yogya gak mau kamu masuk SMKI. Kamu denger sendiri kata Eyang di telepon kalau SMKI kejauhan."

"Masuk mana aja yang penting bisa masuk ISI Yogyakarta!" tutur gadis itu penuh keyakinan.

Pria itu kembali menyesap kopi hitam buatan istrinya yang telah ia percaya menjadi khas-nya Yogyakarta, kampung halaman mereka. Selepas aroma yang menyengat itu menjadi samar karena cangkir yang ia jauhkan, pria itu kembali berujar. "Sekolah negeri di sini juga bisa masuk ISI, bahkan masuk UI jurusan A sampai Z juga bisa."

Dari menggeleng. "Gak mau. SMKI lebih besar kemungkinan buat masuk ISI Yogyakarta!"

Pria tua itu tergelak, "kata siapa?"

"Kata Dari!" tukas anak SMP itu.

Sebuah motor dengan deru suara yang tak menyakiti telinga tiba pada pekarangan rumah tak berpagar milik mereka. Senyuman pria dengan kopinya itu merekah, membuat Dari penasaran dan ikut memantau pergerakan seseorang yang baru saja datang dan turun dari motornya.

"Pakdhe!" seru Dari tatkala helm yang melindungi kepalanya dilepas begitu saja.

Gadis SMP itu berlari menghampiri paman dekatnya di Jakarta. Enggan acuh lagi pada obrolannya dengan orang tua yang penuh tipu muslihat itu—setidaknya itu yang Dari pikirkan ternyata Papanya.

"Pakdhe apa kabar?" tanya Dari membuka obrolan. Pria yang ditanya tertawa. "Baik, kamu gimana, Nduk?"

Dari mengangguk antusias. "Baik, Pakdhe!" jawabnya. Atensi Dari tak jatuh sepenuhnya pada Om tetua dalam keluarga mereka. Motor yang Dari tahu telah di-custom lebih menarik perhatiannya.

Matanya kembali berbinar, menatap kuda besi beroda dua itu dengan kagum. Mulutnya menganga, senyumannya enggan terkatup walau hanya beberapa detik berlalu. Motor yang di-custom jauh lebih sexy dari apa yang ia pikirkan selama ini.

"Jarene arep mbok dol, piye toh?"

(Katanya mau kamu jual, gimana sih?)

Lawan bicaranya tertawa renyah, "motor koyok ngene peminate akeh, na'men aku ijeh rak relo."

(Motor seperti ini peminatnya banyak, tapi aku masih enggak rela.)

Dari berasal dari tanah Jawa. Nama Sundari yang ia dapatkan dari Eyang di Yogyakarta telah mendeklarasikan secara gamblang bahwa gadis itu dialiri darah Jowo tulen. Tak sulit baginya untuk mengerti arti dari perbincangan kedua orang tua di sampingnya. Pertanyaan gadis itu mengalun, menyusup ke tengah obrolan. "Motor ini mau dijual?"

Kedua orang tua yang tengah berbincang itu menjeda kegiatan mereka. Pakdhe, pria yang ditanya mengangguk. "Iyo," jawabnya.

"Udah ada yang beli?" tanya gadis itu lagi.

Kekehan yang renyah terdengar sebelum Pakdhenya menjawab, "belum."

Dari memekik excited, "serius!?"

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang