"Jawabanmu 0,5 atau ½, Ki?" tanya Diva sembari sedikit berbisik. Adzkia menoleh, menatap kawan karibnya sejenak lalu ikut berbisik pelan dari bangkunya. "½." Jawabnya.
Diva mengangguk tanpa kata lalu tatapannya beralih pada Dari yang duduk tak jauh dari kursinya. Pertanyaan yang sama terulang, "jawabanmu 0,5 atau ½, Ri?"
Sundari menatap Diva dengan kedua alis yang hampir bertaut. "½, tapi bukannya itu sama aja?" tanyanya heran. Diva terkekeh sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Sundari. Ia berujar dengan suara yang kecil, takut bilamana guru matematika di depan sana menyadari perbincangan mereka. "Iya, aku cuma mau ngambil suara terbanyak aja." Katanya sebelum atensinya kembali jatuh pada soal matematika.
Indira yang sejak tadi menyimak ikut berbisik. "Gunanya fungsi limit waktu beli seblak itu apa?"
Ada jeda sebelum Dari bersuara. "Biar kalau kerupuknya sisa setengah, tetep bisa dibagi rata."
Mendengar hal itu, lantas saja Indira timang beberapa tanda tanya besar di kepalanya. Lama ia terlarut di kubangan pikirannya, hingga suaranya kembali terdengar ragu. "Bukannya itu aljabar?" masih Indira yang bertanya. Berbeda dengan semula, Dari mengangkat kedua bahunya dengan asal lalu berujar tak acuh, "bukannya sama aja?"
Indira mengangkat bahu. "Gak tau deh, emang sama?"
Dari tak menjawab, ia tak terlalu peduli—pun tahu bahwa perbincangan itu tak akan selesai hanya dengan jawaban sederhana mengenai porsi seblak. Atensi gadis muda itu kembali jatuh pada keseluruhan soal yang sudah terisi sempurna dalam kertas jawaban. Napasnya berembus, ini adalah soal matematika yang sudah terhitung ke-sekian dalam minggu ini.
Sundari memijat pangkal hidungnya. Soal olimpiade, matematika wajib, peminatan, kelas penambahan materi, bahkan try out seminggu empat kali membuat harinya hanya habis di sekolah saja. Jika seperti ini terus, Sundari bisa gila.
"Ada yang sudah selesai mengerjakan?" suara bariton dari guru mereka terdengar. Diva mengangkat tangan, disusul dengan Kia dan Dari secara bersamaan. Indira berpangku tangan, lagi-lagi ia tertinggal di belakang.
Pandangan guru matematika mereka tak benar-benar terkunci pada ketiga gadis muda yang kerap kali menjadi langganan peringkat teratas dalam kelas. Kedua matanya berkelana untuk menatap sebagian besar siswa yang masih bergulat dengan soal UTBK tahun lalu.
Ia berdehem sejenak sebelum suara dengan nada baritonnya kembali terdengar. "Baiklah, jika sudah selesai, kumpulkan di meja saya lalu bentuk kelompok untuk mengerjakan soal akhir pada bab yang baru saja kita pelajari."
Ulangan harian belum benar-benar selesai. Beberapa siswa dan siswi bahkan belum sempat mengangkat kepalanya selepas membaca soal. Titah yang baru saja dituturkan oleh guru matematika mereka mutlak adanya; tak mampu tersentuh, tak mampu digugat. Mereka hanya mampu menerima sebagai siswa, tak memiliki hak dan kesempatan untuk berbicara. Rahasia umum sudah di depan mata: titah guru adalah segalanya.
"Satu kelompok berapa orang, Pak?" tanya salah satu siswa dengan pena yang masih terselip di jemarinya.
"Lima." Jawabnya.
Dari menghela napas dalam-dalam, kedua matanya berputar jengah mengarah pada langit yang hanya disekat oleh jendela dan ketidak mampuannya untuk terbang di udara.
Diva berbisik, "kita mau sekelompok sama siapa?" pada Kia. Indira membalik tubuhnya, ia tatap kawan karibnya, Dari, dengan binaran netra yang seolah meminta jawaban.
"Kita kurang satu orang." Kata Indira.
Dari sedikit terkekeh mendengarnya. Ia bangkit untuk mengumpulkan jawaban matematikanya di meja guru, lalu suaranya terdengar sambil lalu. Katanya, "nanti juga dateng kalau butuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rancu
Teen Fiction: : : 0 : : : Satu sekolah tau kalau lo gak bakal bisa nembus circle yang isinya: Adzkia. Atlet pencak silat yang hobi banget ngoleksi piagam di rumahnya dan beberapa disimpan dalam lemari kaca sekolah. Otaknya cerdas, analisanya tajam, dia gak pern...