Indira kembali menyeka keringatnya menggunakan lengan seragamnya. Setelah bola oranye yang dari tadi memantul itu masuk ke dalam ring, ia memilih untuk menjeda permainannya. Meski napasnya menderu, keringatnya membanjiri, dan panas menusuk kulitnya, tetap saja Indira belum merasakan lelah.
Bola oranye itu terus menggelinding ke sisi lapangan, menjauhi Indira yang masih membeku di sana. Sebagai mantan kapten tim dan ikut andil dalam memberikan segudang kejuaraan untuk sekolah, membuatnya kerap kali di anak emaskan dalam pemakaian lapangan.
Orang-orang yang lalu lalang di sana sudah hapal betul seberapa seringnya Indira bermain basket di lapangan sekolah. Bagi Indira, ketiga kawan karibnya adalah jalan untuk menjaga hubungan bersama sesama manusia. Sedangkan basket adalah jalan untuknya menjadi diri sendiri.
Gadis itu menoleh ke salah satu sisi lapangan yang teduh. Adzkia melambaikan tangan dengan senyum, sedangkan Diva menggoyangkan botol air mineral untuk memancing Indira beristirahat. Sundari ada di sana, sibuk menahan diri agar tak memulai pertikaian dengan Indira.
Namun, Indira tak mau berhenti sebelum bel berdering. Pikirannya dipenuhi oleh pria asing tempo hari yang mengalahkannya dalam one by one. Ia mantan kapten basket periode sebelumnya, sedangkan pria asing itu bukan siapa-siapa. Mana bisa Indira kalah begitu saja?
Bola basket melayang ke arahnya, "Ndi!"
Tetapi intuisi Indira tak mati. Refleks gadis itu tergolong bagus. Bola yang baru saja dilempar berhasil ia tangkap dengan sempurna tepat di depan dada. Saat kedua matanya menatap siapa tersangka yang baru saja melempar bola ke arahnya, perlahan, ia menjadi sedikit tenang.
"Lo mau ribut sama gue? Bilang!" Indira memulai pertikaian.
Pria yang menjadi tersangka memilih untuk tertawa kecil dan menghampiri Indira semakin dekat. "Nice!" katanya.
Indira tak merespon apa-apa selain kembali men-dribble bola yang baru saja sampai di tangannya. Aldi, pria yang tempo hari mengalahkan Indira dalam sparing—pria yang sejak tadi memenuhi pikirannya—berlari kecil menghampiri gadis yang berlatih sendirian di tengah lapangan.
Perbedaan mereka tak kontras. Keduanya sama-sama memakai seragam dengan asal sembari menggulung lengannya hingga 3/4. Namun, berbeda dengan Aldi yang masih memakai seragam putih abu-abu secara penuh, Indira telah mengganti rok abu-abunya dengan celana training berwarna gelap.
"Lo gak mau break dulu?" tanya pria yang baru saja ikut bergabung.
Indira menggeleng. Langkahnya kembali melaju cepat menuju ring untuk kembali mencetak skor imajiner dalam kepala. Tubuhnya melompat dengan satu kaki yang digunakan sebagai tumpuan lalu melakukan lay up sebagai sentuhan akhir. Benar-benar tak lebih dari sepuluh detik—mungkin kurang.
"Oper!" pekik Aldi sembari sedikit melambai ke udara.
Gadis itu mengerti dan langsung melambungkan bolanya dari atas kepala. Aldi terkekeh kecil sembari men-dribble bola di tangannya. Badan keduanya sedikit bungkuk dengan Indira yang mulai merangkai strategi dalam kepala untuk mengambil alih dan menguasai bola sepenuhnya.
Pergerakan mereka terjadi, Aldi masih menguasai bola dengan beberapa kali melakukan Fakes. Beruntung, Indira mampu membaca semuanya dengan sempurna. Tak selang lama, bola berhasil dicuri oleh Indira. Lawan mainnya tersenyum, pergerakannya yang cepat kembali membawa bola oranye itu pada penguasaan Aldi. Keduanya sama-sama gesit hingga sebuah lemparan jarak jauh berhasil membuat bola oranye itu lolos kedalam ring. Aldi mencetak poin.
Indira berdecak kesal.
"Break, Ndi!" tutur Aldi.
Gadis itu seperti kehilangan energinya setelah kecolongan poin imajiner. Kedua tungkainya melangkah lunglai ke tepi lapangan untuk beristirahat di sana. Saat tubuhnya sudah duduk sempurna, Indira meluruskan kedua kakinya sembari mengibaskan kerah seragamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rancu
Teen Fiction: : : 0 : : : Satu sekolah tau kalau lo gak bakal bisa nembus circle yang isinya: Adzkia. Atlet pencak silat yang hobi banget ngoleksi piagam di rumahnya dan beberapa disimpan dalam lemari kaca sekolah. Otaknya cerdas, analisanya tajam, dia gak pern...