: Bagian Tujuh :

116 27 10
                                    

Setahun yang lalu, tepat pada malam sesudah pertandingan berakhir. Indira belum mengganti seragamnya sama sekali. Lambang kapten yang seharusnya bertengger di lengannya tak ia kenakan, tergeletak tak bertuan pada bibir lapangan. Pikirannya jenuh cenderung penat. Raganya lelah, namun enggan diajak rehat. Bola oranye yang terus ia pantulkan pada bumi tak diberikan istirahat barangkali hanya setengah masa.

"Udah, Ndi!" seru Dari sedikit berteriak. Gadis yang masih men-dribble bola sembari berlari menuju ring masih enggan mendengarkan. Kepalanya penat, tak ada yang lebih penting dibandingkan membuat pikiran-pikiran di dalam kepalanya berhenti sejenak.

Langit di atas sana sudah gelap. Masa yang seharusnya digunakan untuk beristirahat manusia normal seolah tak diindahkan sama sekali oleh kedua gadis muda itu. Sundari masih berteriak menyuruh kawan karibnya berhenti, sedangkan Indira memilih untuk menjadi tuli—enggan mendengarkan teriakkan dari Sundari, kawan karibnya.

"Sekali lagi lu masukkin bola ke ring, gua tinggal balik!" teriak Dari sebagai bentuk ancaman. Indira melirik sekilas dengan napas yang masih memburu. "Terus?" lalu kembali berlari dengan bola basketnya.

Dari menghela napas kesal. Kedua kakinya melangkah beriringan menuju motor berjenis scrambler miliknya. Kunci yang beberapa saat lalu sudah ia keluarkan dari saku disembunyikan apik dalam genggamannya. "Gila." Sarkasnya.

Tak menunggu waktu lama, seolah juga tengah memberi Indira kesempatan untuk bermain lebih lama, Dari langsung menaiki motornya dan menyalakan motornya tanpa aba-aba.

Dari menoleh sekilas pada kawan karibnya di tengah lapangan. Perasaannya campur aduk. Kedua matanya menatap Indira yang bahkan enggan menolehkan kepalanya. Dari tahu bahwa Indira dan bola basketnya adalah dua hal yang tak mampu diganggu gugat.

"Seriously?" gerutu Dari dengan nada yang sudah cukup kesal.

Gadis itu mematikan mesin motornya, tangannya kembali merogoh saku jaketnya untuk mengeluarkan ponsel pintarnya. Dari memiliki rencana cadangan—membawa pulang Indira secara paksa. Biarlah ini menjadi kasus penculikan di mata hukum.

Suara dering dari telepon genggam terdengar nyaring. Sengaja Dari kencangkan agar Indira berhenti atau setidaknya menoleh. Hingga tak menunggu waktu lama, sambungan telepon terhubung. Suara di sebrang sana menyapa. "Halo?" katanya.

Dari mengadu, "tante, ini Indira tetep kekeh gak mau balik."

"Udah coba maksa dia belum?" tanya suara di sebrang telpon.

Gadis yang ditanyai mengangguk. "Udah tante... udah saya ancem juga malahan. Kasihan bolanya, tante...."

Dari menatap Indira, mencari pergerakan yang mungkin tak gadis itu sadari—mungkin menguping atau mungkin rehat sejenak.

"Yaudah, kalau gitu biarin aja."

"Lah?" Dari melongo.

Suara kekehan dari sebrang telpon sana terdengar jelas. Dari masih melongo, tak percaya dengan jawaban yang baru diberikan seorang ibu dari kawan karibnyanya.

"Iya, biarin aja. Susah kalau ngomong sama Indira, keras kepalanya suka kumat. Kamu lagi dimana, Ri?"

Suara Dari memelan, "di lapangan deket rumah Diva, Tante." Jawabnya.

Suara helaan napas di sebrang telpon sana terdengar. "Bagus deh, Ri. Titip Indira ya, suruh dia nginep di rumahmu atau Diva juga gak masalah kalau dia gak mau pulang. Tapi kalau mau pulang, jangan malem banget... mending pagi sekalian, soalnya kalau sekarang sepi."

Dari melongo. "Tolong ya, Ri," tutur lawan bicaranya membujuk gadis muda itu. Jeda yang tak singkat dimanfaatkan Dari untuk menghela napas. Selepas itu, suaranya berujar pasrah. "Iya, tante."

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang