: Bagian Sepuluh :

93 16 16
                                    

"Tapi 'kan Mbak, kerjaan saya benerin televisi, bukan radio...."

Dari terdiam, radio yang sudah berada di tangan Fauzan pun ikut bungkam. Gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum kembali bertanya. "Emangnya radio sama televisi beda?"

Pria yang kerap dipanggil Gembel oleh gadis di depannya tak menjawab. Ia sibuk memperhatikan radio lama yang masih tampak bagus—juga enggan menjelaskan mengenai konsep perbedaan televisi dan radio.

"Radionya punya Bokapnya Diva. Sayang banget masih bagus tapi gak bisa nyala." Ujar Dari mencoba memprovokasi secara halus.

Fauzan menatap radio di tangannya dari sembarang sisi. Tak pernah ada yang membawa radio di tempat reparasi televisi sebelumnya. Walau ia pernah melihat perbaikan radio secara langsung oleh para seniornya, tetap saja. Tak sekali pun ia pernah menyentuh radio untuk diperbaiki.

"Kalau gak bisa—"

"Iya Mbak, saya coba dulu," Fauzan memotong.

Dari menatap kawan lamanya dengan binaran yang sempurna. Senyumnya terukir lebar, "serius?!" tanyanya memastikan. Fauzan mengangguk, "iya, mungkin cuma konslet kabelnya. Nanti saya coba."

Dari menghela napas lega.

"Saya juga punya hutang budi ke Mbak Diva. Kalau bukan dari Mbak Diva, buku-buku di Suwung gak sebanyak itu."

Gadis yang menjadi lawan bicaranya menatap Suwung. Fauzan benar, buku yang sebagian besar ada di sana memang diberikan langsung oleh kawan karibnya, Diva. Bahkan saat perpustakaan baru terujar sebagai rencana, Diva sudah bersuara lancang untuk memberikan beberapa buku sebagai bantuan.

Fauzan hanya pemuda kampung yang harus bekerja tanpa jeda untuk bertahan hidup dalam kerasnya kota. Berbeda dengan Diva, gadis belia yang memang terlahir dari keluarga kaya raya. Mereka berbeda kasta, tak mampu sama walau sudah berusaha sekeras baja.

"By the way, Yudhis kemana? Tumben, biasanya dia nongkrong di sini." Tutur Dari kala matanya menatap kekosongan kontrakan sore itu.

Fauzan menatap lawan bicaranya selama beberapa saat. Kedua bahunya terangkat. "Gak tau, udah dua hari dia gak ke sini." Jawabnya. Fauzan, atau pria yang biasa Dari panggil Gembel berdehem sesebelum kembali bersuara. "Mbak," serunya.

Dari mengangkat kedua alisnya. Fokusnya terkunci pada pria yang baru saja berseru.

"Ini... malamnya Mas Farel."

Jantung Dari berdetak kencang. Kedua matanya mengerjap sebelum sayu pada akhirnya. Cahaya awal tadi hilang begitu saja. Senyumannya ikut luntur. Helaan napasnya pun terdengar jauh lebih berat. Detik itu jatuh membawa Dari bersama memori yang entah mengapa juga hadir secara tiba-tiba—menyerangnya secara hebat.

"Mbak, gak mau ke jembatan?" tanya Fauzan.

Dari menghembuskan napasnya dengan berat karena tiba-tiba saja ia merasa telah ditimpa seribu ton baja selepas obrolan mereka mengarah pada malam Farel. Kepalanya menggeleng kecil. "Nanti," jawabnya setengah lirih.

Kedua manusia itu mengambil jeda perbincangan. Sengaja agar tak ada satu pun luka yang tiba-tiba naik ke permukaan. Dari menatap angkasa, melihat langit yang tak menunjukkan langit abu sama sekali.

Fokus Fauzan tak lagi terjatuh pada radio tua di tangannya. Pikirannya melayang, mengingat kembali memoar setahun lalu pada malam yang sama—walau dengan rasa yang berbeda.

Di tengah jeda perbincangan, Fauzan berujar lirih, "kalau Mbak pergi ke jembatan, saya titip salam ya? Tolong bilangin ke Mas Farel, saya minta maaf."

: : : 0 : : :

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang