Siang itu terlampau terik bagi manusia yang kerap kali tinggal dalam ruang atap teduh. Angin itu terlampau panas untuk mereka yang terbiasa dihembuskan sejuknya AC dalam ruang tertutup. Indira terlalu gila untuk bermain basket dalam suasana seperti ini. Setidaknya itu yang dipikirkan Dari sejak pertama kali melihat kawan karibnya mencuri waktu dengan bola jingga.
Sundari tak merasa aneh. Ia tahu, seperti kehidupannya yang berputar pada motor dan jalanan, kehidupan Indira juga tak luput dari basket. Mungkin bermain bola jingga di bawah terik akan terasa menyiksa bagi Dari. Namun, untuk seorang mantan kapten basket seperti Indira, hal itu bukan berarti apa-apa.
Di saat semua orang berteduh dari sengatan matahari yang pelik, Indira tetap bertahan dalam ruang lingkup permainannya sendiri. Berlarian di lapangan, melempar bola basket, berlari lagi, melempar lagi, begitu seterusnya—entah sampai kapan.
Berbeda dengan keheningan di teras depan kontrakan—tanpa suara tapak sepatu yang dibawa berlari dan meloncat—si pemuda kampung, Fauzan, kembali menghitung jumlah baju-baju layak pakai yang Dari dan Indira bawa agar mampu dibagi rata. Sedangkan raga lain di sisi mereka, Yudhis, hanya membawa kedua matanya bolak-balik menatap Indira di lapangan dan Fauzan.
"Makasih ya, Mbak." Kata Fauzan.
Dari tersenyum. "Bola-bola itu punya Indira, sengaja dikasih buat anak-anak biar gak pake kertas lagi kalau mau main bola."
Fauzan tersenyum hingga dereten giginya terlihat sempurna. Lalu tiba-tiba, ia membuat gestur hormat dengan ibu jari yang tertutup. "Siap, Mbak!"
Dari tertawa kecil. Andai Farel masih ada di sekitar Suwung, mungkin ia akan menjadi orang pertama yang menertawakan Fauzan sekeras pecahan terakota.
"Tumben kesininya siang, Mbak. Anak-anak masih pada ngider, baliknya nanti sore." Kata Fauzan penasaran.
Yudhis mengerutkan dahi. "Ngider itu apa, Mas? Bukannya jam segini anak-anak sekolah udah pada pulang?"
Fauzan tersenyum kecil sembari menjelaskan, "'Ngider' itu keliling. Jam segini emang anak-anak udah pada pulang sekolah, tapi mereka pergi lagi buat kerja. Ada yang jadi tukang parkir di pasar, jualan, macem-macem intinya."
"Loh? Emang mereka umurnya berapa tahun, Mas? Masih sekolah kok udah kerja?" tanya Yudhis yang masih dihantui segudang penasaran.
Sundari terkekeh mendengarnya. Jelas sekali bahwa Yudhis adalah anak orang kaya yang hidupnya terjamin sejahtera. Sejak Sundari bertemu Yudhis untuk pertama kalinya, gadis itu sudah mengerti bahwa sendal yang Yudhis kenakan seharga tiga ratus ribu. Wajar saja jika Yudhis buta akan hal-hal yang berkaitan dengan kalangan menengah kebawah seperti ini.
Dari menghela napas. "Dhis, dunia itu emang gak adil untuk beberapa hal. Anak-anak Suwung cuma lima kok, yang paling kecil itu SMP kelas satu dan yang paling gede itu SMA kelas satu. Seumuran lo."
"Kalau mereka gak kerja, mereka gak bisa bayar SPP sekolah, buku, seragam, uang gedung, dan tetek bengek lainnya. Gembel masih bisa ngebiayain makan, listrik, air. Tapi selebihnya bakal susah banget." Jelas Dari.
"Mereka cuma mau bantu ngurangin beban Gembel. Lagipula fine aja sih asal gak maling, malak, matiin orang, atau hal-hal gak bener lainnya." Kini, Dari mengakhiri penjelasannya.
Pupil mata Yudhis membesar. Pria itu seperti mendengar cerita hebat dari mulut Sundari. Mata yang semula buta, kini mulai terbuka. Dibantu Dari dan Fauzan, Yudhis mulai memahami sisi lain dari dunia.
"Oh! tadi lo nanya apa, Mbel? kenapa gue sama Indi dateng siang-siang"
Sadar bahwa topik pembicaraan telah berganti, Fauzan mengangguk menyikapi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rancu
Fiksi Remaja: : : 0 : : : Satu sekolah tau kalau lo gak bakal bisa nembus circle yang isinya: Adzkia. Atlet pencak silat yang hobi banget ngoleksi piagam di rumahnya dan beberapa disimpan dalam lemari kaca sekolah. Otaknya cerdas, analisanya tajam, dia gak pern...