: Bagian Lima Belas :

69 9 3
                                    

Jika Sundari tidak memiliki janji, maka ia tak akan pernah mau kembali ke rumah besar milik kawan karibnya, Diva. Motor yang terparkir di depan gerbang rumah besar itu seolah juga menolak untuk masuk ke dalamnya.

Meski berkali-kali satpam yang keluarga Diva pekerjakan itu menyuruh Dari untuk masuk seperti biasa, tetapi tetap saja Dari menolak dan menunggu di luar bersama satu bingkisan di tangannya.

Tujuannya malam itu bukan untuk bertemu dengan Diva. Melainkan kakak laki-lakinya yang nomor dua, Arjuna.

"Neng Dari kalau gak mau masuk, duduk sini aja." Titah laki-laki dengan kaos oblong abu-abu beserta celana panjang hitam itu sembari menepuk-nepuk kursi plastik berwarna merah.

Gadis itu mengangguk. "Makasih ya, Mang." Katanya lalu duduk di sana.

"Tadi udah ngabarin Den Juna?" tanya Pak satpam untuk mencairkan suasana. "Apa mau saya panggilin ke dalem?" lalu ia melanjutkan.

Dari menggeleng. "Udah. Katanya sih lagi siap-siap ke bawah. Baru isya-an jadi masih pake sarung sama yang lain-lain katanya."

Sebuah suara langkah kaki terdengar tak jauh dari mereka berada. Dari menoleh, menatap seorang wanita dewasa yang datang dengan wajah merah padam penuh amarah.

"Ngapain kamu ke rumah saya?" tanya wanita itu tanpa basa-basi.

Dari mengembangkan senyumannya, mencoba untuk seramah mungkin. "Nganterin radionya Kak Juna, Tante."

Wajah wanita itu mengintimidasi. Tangannya pun terlipat di depan dada. "Kenapa radionya ada di kamu?" tanyanya penuh curiga. "Kamu gak ngambil 'kan?"

Dentuman keras seolah menghantam jantung Dari. Satpam yang sedari tadi di sana mulai undur diri. Ia mengerti bahwa perbincangan itu sudah di luar kendali.

"Enggak, Tante." Dari masih mencoba untuk tersenyum. "Kak Juna nitip buat dibenerin sama temen saya. Ini sekarang udah bisa." Katanya.

"Saya gak butuh kamu untuk ngelakuin apa pun di sini. Sekarang taruh radio itu di sana. Silakan kamu pergi. Satu lagi, gak usah deket-deket sama anak saya. Saya tau kamu itu cuma parasit di kehidupannya Diva."

Dari mengangguk. Ia letakan radio milik Arjuna di atas kursi yang tadi ia duduki, lalu bersiap-siap pergi dari sana agar hatinya tak lagi tersakiti. Namun, belum sedetik lamanya radio itu bertengger di atas kursi, sebuah suara berseru. "Ri!"

Dari menoleh, begitupula Ibu dari kawan karibnya. Seorang pria dengan celana pendek di atas lutut nampak berlari kecil untuk menghampiri. Senyumnya merekah, "Sundari!" katanya.

Sundari tak jadi meletakkan radio di atas kursi. Ia serahkan bingkisan itu kepada sang empu, lalu kembali memasang senyum simpul di wajahnya. Setelah menerima bingkisan Sundari, Arjuna berujar, "makasih ya!"

"Udah bisa?" tanya pria itu sembari mengeluarkan radio dari bungkusnya.

Kedua mata Arjuna berbinar seolah mendapatkan jackpot yang besar. Ia tarik antena radio ke udara, lalu mulai menyalakan tombol yang ada di sana.

Sebuah suara berisik yang lambat laun menjadi jelas terdengar mengudara. Arjuna kesenangan, begitu pula Dari yang merasa kerja keras Fauzan tak sia-sia. Sedangkan manusia lain di sekitar mereka, Ibu dari kawan karibnya itu masih menyilangkan tangannya.

"Berapa Ri?" tanya Arjuna sembari merogoh kantung celananya.

Dari menggeleng. "Enggak usah kak, kata Ojan. Tapi Ojan nitip pesen, katanya kalau radionya rusak lagi berarti komponennya harus diganti baru. Itu Ojan cuma benerin apa yang udah ada aja."

Arjuna menggeleng. Ia masukkan kembali radio ke dalam bungkusnya lalu mulai mendekati Dari dengan sejumlah uang di tangannya. Melihat hal itu, cepat-cepat Sundari memundurkan langkahnya lalu berpamitan.

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang