: Bagian Empat Belas :

78 11 4
                                        

Hujan. Beruntung, masih ada satu halte yang atapnya tak berlubang.

Diva menatap jalan raya yang dibasahi air mata awan itu dengan layu. Untuk pertama kalinya, Diva mendapatkan nilai kosong dalam matematika. Diva yang tak pernah lengser dari ranking pertama dan aktif di olimpiade, tiba-tiba saja dihantui kekosongan nilai.

Gadis itu menatap jalanan sembari menunggu jemputan dari orang tuanya. Ia ingin cepat-cepat pulang dan menangis.

Pertengkarannya dengan Sundari membuat hari itu terasa sepi dan kosong. Seolah memancing tembok tinggi dan besar di dalam ego masing-masing, semuanya tak ingin disalahkan. Merasa benar atas segalanya.

Diva tahu satu-satunya alasan mengapa Sundari mengundurkan diri dari kelas akselerasi adalah untuk membuatnya merasa baik-baik saja. Hanya mereka berdua yang menyimpan rahasia itu.. Sayangnya, kini Adzkia dan Indira sudah mengetahui semuanya. Bahkan Aca, gadis yang tak terlalu dekat dengan mereka berempat.

Bagaimana jika nantinya tersebar rumor jelek tentangnya? Gadis yang tak pernah lengser sebagai peringkat pertama seangkatan selama ini ternyata tidak lolos ke dalam kelas akselerasi.

Tiga tahun lalu saat mereka masih duduk di awal kelas satu,  ada beberapa tes yang wajib diikuti, salah satunya adalah tes untuk masuk ke kelas akselerasi.

Sundari tidak tertarik sama sekali. Kehilangan seorang Ibu di masa itu membuat kehidupannya terasa tidak berarti. Lalu Adzkia, gadis yang sangat tertarik dengan program sekolah. Namun, tidak bisa mengikuti karena aktivitas pencak silatnya yang padat.

"Kalau aku ikut aksel yang dua tahun terus ngejar materi, pencak silat aku gimana?" katanya kala itu.

Indira tidak peduli. Toh, masuk ke dalam SMA bergengsi melalui jalur reguler sudah cukup baginya. Impiannya tidak serumit itu.

Hanya Diva, satu-satunya gadis yang excited dengan kelas akselerasi. Jika lolos, maka ia berkemungkinan untuk masuk ke dalam universitas favoritnya. Namanya akan bersanding bersama kedua kakaknya yang cemerlang. Ayah dan Ibunya akan bangga. Ia menantikan hal itu.

"Berarti Kia gak ikut tes?" tanya Diva.

Sambil memainkan bolpoin dengan tutup unicorn miliknya, Kia menggeleng. "Sebenarnya pengen sih, tapi aku lebih sayang pencak silatku." Balasnya.

Indira memasang wajah meledek. "Emang iya, isi kepala atlet tuh beda. Sertifikat dia aja udah jadi satu judul buku sendiri kalau digabungin."

"Apa sih, Ndi?" Kia malu-malu. "Diva tuh pasti lolos, liat aja setiap hari belajar terus sampai lupa sama sekitar."

Kini, gantian Diva yang tersipu.

Tes untuk masuk ke kelas akselerasi terlaksana. Diva yakin ia akan diterima. Kesehariannya hanya diisi dengan belajar. Bahkan di tempat les, ia sudah sampai di level tertinggi.

Namun, keyakinan itu runtuh kala hari pengumuman.

Tidak ada mendung, tidak ada hujan. Namun, seluruh isi kepala dan kehidupan Diva seperti diporak porandakan oleh badai. Hancur lebur menyatu menjadi satu hingga tak bisa lagi diuraikan. Dihantam oleh ombak berkali-kali seolah perasaan Diva adalah karang di lautan.

Dari semua orang di sekolah ini, kenapa namanya tak lolos dalam kelas aksel? Apa yang kurang dari kemampuannya? Diva lolos melalui jalur NEM, ia cerdas, ia cemerlang, ia pintar, keluarganya berpendidikan, apa lagi yang kurang?

Surat hasil pemberitahuan ia sembunyikan jauh di balik lokernya. Tak ingin ia buka atau baca lagi. Diva patah hati. Diam-diam ia menangis tanpa mengeluarkan air mata. Disembunyikannya semburat duka sendirian dari mata manusia lainnya.

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang