: Bagian Dua :

257 43 9
                                    

"Ri, sampai kapan kamu mau bolos kelas olim?" suara Diva memecah isi kepala Dari. Indira yang masih sibuk mengerjakan tugas dalam laptop ikut menyimak pembicaraan, sedangkan si pemilik kamar Kia, enggan bergabung ke dalam perbincangan. Menurutnya, drama Korea yang ia tonton lebih menarik dibanding obrolan olim.

Dari menghembuskan napas beratnya sembari memutar bola matanya dengan jengah. "Males ah, Kia aja tuh, dia jenius." Serunya agak sedikit tak bertenaga.

Kia yang merasa diikut sertai dalam perbincangan klasik membuatnya sedikit kesal. "Kalau silat boleh dibarengin sama olim pasti aku ikut!"

Kia, atlet muda yang sudah menyabet banyak kejuaraan pencak silat memilih bergumam. Membuat Indira, pebasket wanita berbakat di sekolah melemparnya menggunakan bantal yang tergeletak tak bertuan. "Udah deh, gak usah maruk." Tuturnya mengingatkan.

Dari sedikit tertawa sembari melepaskan earphone-nya dari telinga. Raga yang tadi tengkurap sempurna ia bawa duduk bersila di atas kasur si pemilik kamar, Kia.

"Ndi, dicari Gembel tuh kemaren." Ujarnya dengan nada sedikit bercanda.

Indira menoleh, wajahnya tampak kesal karena baru saja digoda oleh kawan karibnya. "Gembel ... Fauzan?" Tanya Kia sembari menjeda drama dari negeri gingseng yang menjadi favoritnya. Mendengar penuturan Kia membuat Dari mengangguk.

"Kemaren gue ke sana, Gembel titip salam buat Mbak Indira katanya. Sebenarnya buat kalian juga sih, tapi prioritasnya Indira."

Adzkia terkekeh, "Walaikumsalam!"

Diva mengangguk setuju, "Ciri-ciri naksir itu, Ndi."

Melihat respon menyenangkan dari kawan-kawannya membuat Dari kembali berujar. "Sekalinya beneran naksir juga dia gak bakalan nembak, percaya sama gue."

Indira tertawa. "Gue juga gak mau sama dia."

Dari terkekeh. "Terus sama siapa? Mas-mas yang kemaren sparing basket?"

Bantal yang sempat dijadikan ancang-ancang oleh Indira terlempar sempurna ke arah Dari. Wajah Indira merah padam karena malu walau tetap menampilkan raut wajah yang kesal. "Gembel ditolak, mas-mas sparing digebet." Ejek Dari lagi.

Kia menganggukkan kepala setuju sembari memutar kembali tontonan yang tadi sempat terjeda, Sedangkan Diva kembali menatap Dari, berusaha menyelesaikan obrolannya di awal tadi.

"Ri, jadi ... kelas olim kamu gimana?"

: : : 0 : : :

Suara deru motor memecah jalanan kampung yang tandus. Retakan-retakan yang nampak jelas di atas tanah kering dan rumah-rumah semi permanen yang saling berdempetan seolah menjadi labirin yang syukurnya sudah mampu Dari pecahkan jalan keluarnya.

Kaca helm Indira tertutup sekali hentakan saat motor yang dikendarai Dari melewati polisi tidur secara tiba-tiba. Bola-bola yang gadis itu bawa hampir saja terjatuh di jalanan. Namun, beruntungnya Indira cukup cekatan. "Pelan-pelan Ri, lo kira bawa bola sama baju-baju gini di motor gampang?" seru gadis itu kesal.

Dari hanya mendengar sayup-sayup ocehan Indira karena suaranya diredam angin serta helm. Lagipula gadis itu lebih memilih fokus pada motor yang sudah keluar dari jalanan kampung dan tengah menuju aspal jalan raya dibandingkan ocehan penumpangnya.

Detik selanjutnya, motor mereka melewati satu polisi tidur dengan rem yang tak digunakan secara sempurna. Fokus Indira terpecah menjadi dua—kaca helm yang turun lagi dan bola yang hampir loncat dari tangan.

"Pelan-pelan, Ri! Pelan!" seru Indira agak kesal. Dari tak mendengarnya, suara Indira masih tenggelam karena helm dan juga kendaraan lain di samping mereka. "Apa Ndi?!" tanya Dari sedikit lantang.

RancuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang