"Satu tahun lalu, tepatnya pada hari ini. Seorang musisi muda Indonesia bunuh diri di jalur kereta api—"
Dari menghela napasnya dengan berat. Ke-tiga kawan yang sejak tadi memperhatikan sikapnya mulai saling bertukar pandang satu sama lain. Mereka khawatir jika Dari melakukan hal yang gila—kabur dari sekolah misalnya.
"Lo tau gak musisi naik daun yang waktu itu bunuh diri?" suara salah satu kawan perempuan mereka terdengar jelas hingga telinga Dari dan kawan-kawannya di sisi meja yang lainnya. Indira menoleh, memastikan siapa yang baru saja bersuara.
Oh, Jasmine.
"Oh, Farel?" tanya rekan satu meja Jasmine di sana.
"Kasihan ya? Mana masih muda."
Dari mengembuskan napasnya dengan berat lalu berseru pelan, "gue mau keluar dulu."
Diva ikut bangkit. "Mau aku temenin?" tanyanya.
Dari menggeleng sebelum langkahnya beradu pasti keluar dari kelas. Waktunya terasa terhenti. Setiap detik yang berjalan terasa sama saja. Perasaan yang entah kapan akan tenang semakin membuat kepalanya pusing bukan kepalang. Hari-harinya tak bermakna, jauh dari kata bahagia. Entah karena Dari belum dewasa atau memang seperti ini rasanya menjadi dewasa.
"..., tagar 'BungaUntukFarel' mendominasi media sosial Indonesia."
Dari tutup pendengarannya rapat-rapat dari pemberitaan hari itu. Ponsel yang sengaja ia tinggal di kelas juga tak ia sentuh eksistensinya. Dari tahu, berita kematian Farel tak akan memudar dan akan terus mengudara.
"..., satu Indonesia berduka setelah kehilangan salah satu musisi muda terbaiknya."
Dari tertawa. "Omong kosong." Katanya.
Langkahnya terhenti pada sisi lapangan. Pandangannya terkunci pada langit. Ia mencari sumber kebahagiaan yang kata orang ada di angkasa. Dari tak mengerti, apa bagusnya awan dan seisinya? Baginya, semua sama saja.
Awan tetap awan yang jika digenggam akan hancur berantakan. Awan tetap awan yang tak memiliki isi dan pegangan. Awan tak berbeda jauh seperti Dari yang kosong tak bertuan.
Kata orang, kebahagiaan juga datang dari setiap tetes hujan yang jatuh ke bumi. Dari tak mengerti, apa yang disebut bahagia saat sekujur tubuh dihujani tikaman yang membabi buta. Dipungkiri atau tidak setiap kedatangan hujan akan berakhir sama—dunia terguyur angin langit, bukan bahagia.
"Kapan-kapan gue ajak lo mandi ujan, Ri!"
Juga Farel, pria yang pernah berjanji banyak hal sebelum pada akhirnya pergi.
Kepala gadis itu berkelana, apa juga yang dimaksud dengan kebahagiaan dari cahaya purnama. Orang-orang selalu hiperbola, mencintai apa yang fana walaupun mereka sendiri tak benar-benar tahu akan arti bahagia.
"Hidup lo terlalu serius, Ri. Ayo nge-gigs!"
: : : 0 : : :
Dari ingat, satu tahun lalu sebelum semuanya terjadi. Derik itu, Farel, pria yang ia temui di kontrakan beberapa bulan lalu masih asik bergulat dengan gitarnya. Gadis itu tak merasa bosan, hanya saja ia lelah menunggu Farel yang tak kunjung menyanyikan satu pun lagu.
"Lo gak tau caranya main gitar? Mau gue ajarin?" tanya Dari mengejek.
Farel menyunggingkan senyum miring. "Lo kira gue bego?" tanyanya sembari memetik beberapa senar gitar dan menjadikannya nada yang selaras. Itu G.O.A.T dari Polyphia. Meskipun tak benar sempurna dan masih banyak nada yang miss, tetap saja Farel telah membuktikan bahwa jemarinya memang lihai bermain gitar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rancu
Teen Fiction: : : 0 : : : Satu sekolah tau kalau lo gak bakal bisa nembus circle yang isinya: Adzkia. Atlet pencak silat yang hobi banget ngoleksi piagam di rumahnya dan beberapa disimpan dalam lemari kaca sekolah. Otaknya cerdas, analisanya tajam, dia gak pern...